Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kritik buku "Islam Tanpa Syariat: Menggali Universalitas Tradisi"

Oleh: Ust. Arief B. Iskandar


Pengantar

Tahun ini dunia perbukuan nasional 'diramaikan' oleh terbitnya sebuah buku berjudul, Islam Tanpa Syariat: Menggali Universalitas Tradisi. Buku yang diterbitkan oleh PT Grafindo yang bekerjasama dengan sejumlah LSM ini merupakan rangkuman hasil ceramah cendekiawan Inggris asal Pakistan bernama Ziauddin Sardar di berbagai tampat di Indonesia, yang kedatangannya disponsori oleh British Council.


Secara umum, buku ini ingin memberi gambaran, bahwa Islam yang ideal adalah 'Islam tanpa syariat'. Menurut Sardar, kaum Muslim gagal melakukan ijtihad karena tiga "malapetaka metafisis". Pertama: pengkultusan syariat sebagai sesuatu yang suci. Kedua: lenyapnya semangat ijtihad di kalangan Muslim. Ketiga: penyamaan Islam dengan negara. (Sardar, 2005: 15).

Kaum Muslim, kata Sardar, seharusnya menyadari bahwa hukum dan yurisprudensi yang selama ini menjadi rujukan utama dibangun dalam konteks sosial masa lalu yang tidak selalu sesuai dengan kehidupan masyarakat kontemporer. Kaum Muslim perlu melakukan rekonstruksi hukum dan etika dari sumber aslinya, yaitu dari konsep-konsep dan nilai-nilai asasi yang melekat di dalam al-Quran sebagai spirit pembaruan Islam (Sardar, 2005: 15).

Salah satu sebab utama kegagalan dalam menjawab panggilan ijtihad, kata Sardar, adalah konteks dari Kitab Suci kita yang tidak sesuai dengan kehidupan sekarang. Konteks sosial al-Quran dan as-Sunnah Nabi Muhammad saw. membeku dalam sejarah. Yang bisa kita lakukan hanyalah menafsirkan teks. (Sardar, 2005: 17).

Selanjutnya dia mengatakan, bahwa mayoritas Muslim menempatkan syariat Islam pada posisi suci, padahal tidak ada satu pun aspek syariah yang sakral. Menurutnya, hanya al-Quran yang suci; selainnya, termasuk syariah, jauh dari suci; syariah adalah produk hukum ciptaan manusia. (Sardar, 2005: 18).

Dalam buku ini, Sardar banyak menyebut masalah 'konteks' dalam aspek hukum. Biasanya ungkapan semacam ini dimaksudkan agar orang Islam harus meninggalkan teks suci al-Quran karena zaman dan tempat sudah berubah. Padahal, menurut Adian Husaini, para pemuja aliran "kontekstiyah" ini sebenarnya juga para pemuja "teks". Hanya saja, teks mereka bukan lagi al-Quran dan Sunnah atau kitab-kitab khazanah fikih Islam. Teks suci bagi mereka adalah semacam, "Universal Declaration of Human Right", "KUHP", "Declaration of Independen-nya Amerika", dan sebagainya. Mereka menolak teks yang sakral menuju teks yang profan. Karena itu, jika para penganut aliran "kontekstiyah" ini menuduh kaum Muslim dijajah "teks" al-Quran dan as-Sunnah, maka sebenarnya—tanpa sadar—mereka juga merupakan para pemuja teks bikinan manusia yang tidak suci dari godaan setan yang terkutuk. (Adian Husaini, Hidayatullah.com, 3/6/2005).

Tulisan berikut sekadar ingin mengajak kembali kita semua untuk merekonstruksi pemahaman kita atas Islam, yakni bahwa Islam yang ideal tetaplah Islam dengan syariah, bukan yang tanpa syariah.

Islam: Akidah dan Syariat

Sebagaimana dimaklumi, Islam terdiri dari akidah dan syariah. Al-Quran menggunakan kata al-îmân untuk akidah dan kata ‘amal ash-shâlih untuk syariah. Al-Quran telah menyatakan hal ini di banyak tempat, antara lain: surat al-Kahfi (18) ayat 107-108; surat al-Nahl (16) ayat 97; surat al-‘Ashr (103) ayat 3; dan surat al-Ahqaf (46) ayat 13. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Islam merupakan satu-kesatuan utuh yang terdiri dari akidah dan syariah. Pemisahan keduanya akan menghilangkan jatidiri Islam.

Definisi Syariah

Secara etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra‘ah al-mâ’ (sumber air minum). (Ibn al-Manzhur, Lisân al-’Arab, I/175; Fayruz al-Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, I/6672; Ar-Razi, Mukhtâr as-Shihâh, hlm. 294).

Dalam istilah syariah, syarî‘ah berarti agama yang ditetapkan oleh Allah Swt. untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang beragam (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XVI/163). Karena itu, syariah dan agama mempunyai konotasi yang sama. (Ibn al-Manzhur, Op.cit., XI/631), yaitu berbagai ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi hamba-hamba-Nya.

Dalam pengertian syar‘i, para ulama ushul mendefinisikan syariah (syarî‘ah) sebagai perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i (An-Nabhani, Asy-Syaksiyyah al-Islâmiyyah, III/31. Lihat juga: Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm; Al-Amidi, Ibid., I/70-71; Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 7).

Dari definisi di atas, baik secara etimologis maupun terminologis syar‘î, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariah adalah seluruh ajaran Islam; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian (An-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, hlm. 74; An-Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, hlm. 36).

Menolak Islam Tanpa Syariah

Meski realitas syariah sudah demikian jelas, sejumlah kalangan, khususnya kalangan Islam Liberal, langsung ataupun tidak langsung, sering melakukan 'desakralisasi syariah', bahkan menolak syariat Islam, khususnya ketika syariat Islam diformalkan dalam kehidupan kaum Muslim alias dilembagakan dalam negara. Sebagai dasar penolakannya, mereka antara lain merekomendasikan beberapa hal berikut:

1. Islam harus dipahami secara substantif, tidak boleh secara literalistik.

Pada faktanya, apa yang selama ini oleh kalangan Islam Liberal sering dianggap sebagai 'substansi' Islam tidak jarang hanya merupakan aspek 'literasi' Islam. Banyak dari mereka yang alih-alih berpikir substantifistik, yang terjadi, mereka tidak lebih sekadar berpikir 'literalistik'. Ketika Islam diartikan sekadar 'sikap pasrah', salat dimaknai sekadar 'doa', jihad ditafsirkan sekadar 'sungguh-sungguh', syariat dimaknai sekadar 'jalan', dst., yang terjadi sebetulnya adalah tafsir literal—bukan substansial—atas Islam. (Lihat: M. Husain Abdillah, Mafâhîm Islâmiyyah, II/6-12).

2. Islam harus dipahami secara kontekstual.

Memang, al-Quran dan as-Sunnah tidak hanya sekadar teks yang 'terasing'. Keduanya turun tidak terlepas dari konteks kehidupan manusia pada masanya. Karena itulah, dalam hal ini, kita mengenal apa yang disebut dengan asbâb an-nuzûl dan asbâb al-wurûd; meskipun tidak semua nash al-Quran dan as-Sunnah selalu dilatarbelakangi oleh asbâb an-nuzûl dan asbâb al-wurûd-nya. Apalagi, para ulama ushul telah sepakat, bahwa keputusan hukum yang terkandung dalam nash al-Quran dan as-Sunnah harus didasarkan pada keumuman ungkapannya, bukan kekhususan sebabnya. Karena itu, ada kaidah yang terkenal di kalangan para ulama ushul:

[اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ]
"Ibrah (baca: hukum) itu bergantung pada keumuman ungkapan, bukan pada kekhususan sebabnya."

Lebih dari itu, kontekstualisasi Islam—yang intinya syariat Islam harus disesuaikan dengan konteks zamannya (dengan asumsi, zaman terus berubah)—sebagaimana yang dipahami kalangan Islam Liberal akan betabrakan dengan dua prinsip:
Pertama, Yang disebut dengan 'perubahan zaman' sebetulnya tidak lebih dari perubahan sarana/prasarana yang terkait dengan teknologi. Ketika orang menyebut zaman Nabi saw. adalah 'zaman unta' dan zaman sekarang disebut 'zaman kuda besi', itu sebetulnya hanya sekadar merujuk pada sarana/prasarana (teknologi). Manusianya sendiri, baik zaman dulu maupun zaman sekarang tidaklah berbeda; mereka sama-sama memiliki fitrah (hâjah 'udhawiyhah dan dan gharâ'iz) yang sama. Pada faktanya, syariat Islam lebih berkaitan dengan fitrah manusia ini (yang tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang) ketimbang dengan sarana/prasarana (teknologi) yang digunakan manusia.
Kedua, Syariat Islam lebih berfungsi sebagai social engineering ketimbang sekadar social control atau, lebih naif lagi, sebagai justifikasi perilaku sosial. Oleh karena itu, menurut An-Nabhani (2001), kepentingan terbesar Islam sepanjang sejarahnya adalah bagaimana mengkondisikan masyarakat dengan Islam, bukan malah menyesuaikan Islam dengan realitas yang ada. Apalagi dalam masyarakat modern saat ini, parameter akan sulit di dapat, karena opini menjadi dewa. Padahal, sebagaimana kata Hitler, yang dikutip Amien Rais (1987), opini massa bisa dengan mudah direkayasa melalui mesin propaganda.

3. Yang disebut syariat Islam adalah ‘nilai-nilai universal’ seperti kemanusian, keadilan, dsb.

Pada faktanya, yang dipandang sebagai 'nilai-nilai universal' seperti nilai 'kemanusiaan' atau 'keadilan' pada tataran praktis akan menemui jalan buntu. Bagaimana adil itu diciptakan, misalnya, ternyata tidak bisa berhenti pada dataran filosofis, namun harus turun ke dataran yuridis (hukum), bahkan pada beberapa hal harus turun lagi ke dataran aritmetis.

Di samping itu, syariat Islam, sebagaimana produk hukum manapun, tidak bisa 'diobyektivikasi'. Contoh kecil, dalam satu kasus yang sama seperti perkosaan, jika diberlakukan dua hukum yang berbeda, yang satu hukum rajam, sementara yang lain sekadar hukum penjara tiga bulan kurungan, manakah yang lebih adil? Jika hukuman kurungan tiga bulan dipandang lebih adil, adil bagi siapa? Apakah bagi pemerkosa, bagi yang diperkosa, atau bagi masyarakat? Apa parameternya? Siapa pula yang berhak menentukan adil-tidaknya hukum: manusia (yang serba terbatas dan sering dipengaruhi oleh kepentingan hawa nafsunya) ataukah Allah Yang Mahatahu, yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap manusia?

Walhasil, nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan pun, mau tidak mau, bergantung pada persepsi ideologis manusianya, alias bersifat subyektif. Karena kita Muslim, tentu persepsi ideologis Islamlah—yang didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah—yang harus digunakan untuk mengukur nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tersebut; bukan persepsi yang bersumber dari idelogi Kapitalisme-sekular maupun Sosielisme-komunis.

4. Islam tidak perlu dilegal-formalkan, yang penting substansinya.

Secara jujur kita bisa mengatakan bahwa sebuah ideologi—entah Islam, Kapitalisme-sekular, ataupun Sosialisme komunis—tidak akan pernah bisa eksis sekiranya hanya ditegakkan substansinya saja, tidak pernah dilegal-formalkan atau terlembagakan dalam institusi negara. Bukankah Islam pernah diperhitungkan eksistensinya pada masa lalu justru melalui institusi Kekhilafahan selama hampir 13 abad? Bukankah Kapitalisme-sekular bisa diperhitungkan eksistensinya saat ini karena diformalkan di dalam institusi negara seperti Amerika dan Eropa? Bukankah pula Sosialisme-komunis diperhitungkan eksistensinya ketika terlembagakan dalam institusi negara seperti Uni Sovyet (sebelum bubar) atau Cina? Artinya, ideologi manapun, termasuk Islam, hanya akan menjadi ideologi utopia jika tidak pernah terlembagakan dalam negara.

Khatimah

Walhasil, Islam yang ideal tetaplah Islam dengan syariah, bukan Islam tanpa syariah. Bahkan, kita harus berani mengatakan, Islam yang tanpa syariah adalah Islam palsu alias bukan Islam! []

Daftar Pustaka

Ibn al-Manzhur, Lisân al-’Arab.
Al-Fayruz al-Abadi, Al-Qâmûs al-Muhîth.
Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, Maktabah Lubnan, Beirut, 1996.
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz XVI.
An-Nabhani, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Mansyurat Hizbut Tahrir, cet. VI, 2001.
M. Husain Abdillah, Mafâhîm Islâmiyyah, 1995.
Atha’ bin Khalil, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Dar al-Ummah, Beirut, cet. IV, 2000.
Mahmud Syalthut, Islâm ‘Aqîdah wa Syarî‘ah, ed. III, Dar al-Qalam, 1966.
Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl.
Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm.
Taqiyyuddin an-Nahbani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, jilid ke-3.
Ziauddin Sardar, Islam Tanpa Syariat: Menggali Universalitas Tradisi. Jakarta: PT Grafindo, 2005.



Posting Komentar untuk "Kritik buku "Islam Tanpa Syariat: Menggali Universalitas Tradisi""