Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tunduk dan Pasrah kepada Allah SWT


Allah Swt menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah (QS adz-Dzariyat: 56). Ibadah tak lain merupakan ketundukan dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah Swt. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi harus juga dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah diluar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan, dll) maupun ‘uqubat (hukum dan peradilan).

Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa Faydh ar-Rahmani karya Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang dibuat tuannya untuk dirinya”

Dengan demikin, ibadah paada dasarnya adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada zat yang disembah, yakni Allah Swt, dengan selalu menaati seluruh hukum-hukumNya.

Allah Swt berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.” (TQS an-Nisa’: 65)

Ada sejumlah riwayat terkait sabab an-nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ummu Salamah, yang menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam pernah mengadukan seseorang kepada Rasulullah Saw dalam suatu perkara. Kemudian Rasulullah mengeluarkan putusan yang memenangkan Zubair. Orang tersebut dengan nada keberatan berkata, “Engkau memenangkan dia karena dia adalah keponakanmu.” Kemudian turunlah ayat ini [dikeluarkan oleh al-Hamidi dalam Musnad-nya, Sa’id bin Manshur, Abdun bin Hamid, Ibnu Jarir, Ibn Mundzir dan Ibnu Hibban dalam al-Kabir]

Dalam riwayat lain, dalam tafsirnya al-Hafizh menuturkan riwayat dari Utbah bin Dhamrah dari bapaknya, bahwa pernah ada 2 orang yantg berperkara, yang sama-sama mengadukan perkaranya kepada Baginda Rasulullah Saw. Beliau lalu mengeluarkan putusan hukum yang memenangkan orang yang dipandang benar dan mengalahkan lawannya yang dipandang salah. Namun orang yang dikalahkan perkaranya berkata, “Aku tidak rela.” Yang memenangkan perkara lalu bertanya, “Lalu apa yang engkau mau?” Ia menjawab, “Kita pergi ke Abu Bakar ash-Shidiq (untuk meminta putusannya, pen).” Keduanya lalu menemui Abu Bakar ra. Beliau lalu berkata, “Kalian berdua harus mematuhi putusan Rasulullah saw.” Namun pihak yang dikalahkan menolak dan tetap tidak rela. “Sekarang mari kita menjumpai ‘Umar bin Khaththab.” Lalu keduanya menemui ‘Umar bin Khaththab ra. Nam un, ‘Umar bukannya memberikan putusan, Beliau malah masuk ke rumahnya dan keluar kembali dengan membawa pedang di tangannya. Seketika beliau menebaskan pedang ke leher orang yang enggan menerima putusan Rasulullah itu, kemudian turunlah ayat di atas.

Riwayat senada dituturkan oleh al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul dari Makhul. Hanya saja ditambahkan, bahwa setelah membunuh orang munafik yang tidak menerima putusan itu, ‘Umar kemudian berkata, “Begitukah hukuman bagi orang yang tidak rela dengan putusan Rasulullah Saw.” Lalu turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah sembari memberitahukan Beliau, “Sesungguhnya ‘Umar telah membunuh orang itu. Allah telah memisahkan kebenaran dan kebatilan melalui lisan ‘Umar.” Karena itulah ‘Umar ra. disebut dengan al-Faruq (as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur fi Ta’wil bi al-Ma’tsur, III/161-162; Ash-shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/260-261)

Jelas, ketundukan total kepada Allah Swt dan hukum-hukumNya merupakan bukti keimanan seorang muslim. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS an-Nuur: 51)

Sayangnya, saat ini kaum Muslim berada dalam sistem sekuler-kapitalistik dan tidak diatur dengan hukum Allah Swt. Sistem sekuler, dengan demokrasi sebagai pilar utamanya, terbukti telah menjauhkan hukum Allah Swt. Oleh karena itu, mau tidak mau, umat ini harus mengenyahkan sistem sekule dan segera menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, tentunya dalam naungan  Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Dengan begitu, kaum muslim akan benar-benar tunduk dan pasrah secara total kepada Allah Swt.
[sumber: tabloid Media Umat, Eds 58, 2-15 Jumadil Akhir/6-19 Mei 2011]

Posting Komentar untuk "Tunduk dan Pasrah kepada Allah SWT"