Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengaturan Hubungan Pria dan Wanita

Allah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, dan pada mereka Allah ciptakan pula potensi kehidupan (thaaqah hayawiyah) yang meliputi kebutuhan jasmani, naluri mempertahankan diri (gharizah baqa'), naluri melestarikan keturunan (gharizah nau') dan naluri beragama (gharizah tadayyun).

Dalam mengatur interaksi pria dan wanita yang lahir dari naluri melestarikan keturunan, Islam menjelaskannya secara rinci. Pertama, Islam mengatur hubungan antara pria dan wanita yang bersifat seksual (dalam rangka melestarikan jenis) dengan perkawinan dan pemilikan hamba sahaya, diluar keduanya dianggap sebagai kemaksiatan/dosa. Di luar hubungan lawan jenis, yakni interaksi-interaksi lain yang merupakan manifestasi dari gharîzah an-naw‘ (naluri melestarikan jenis manusia) —seperti hubungan antara bapak, ibu, anak, saudara, paman, atau bibi— Islam telah membolehkannya sebagai hubungan silaturahim antar mahram. Kedua, dalam hubungan yang bersifat umum - bidang perdagangan, pertanian, industri, keilmuan, ibadah (misal shalat berjamaah), dakwah, dll. Islam mengaturnya dengan menetapkan beberapa hukum berikut:

Pertama, Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita, untuk menundukkan pandangan.


Allah SWT berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” (TQS an-Nûr [24]: 30-31)

Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna, yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Mereka hendaknya mengulurkan pakaian hingga menutup tubuh mereka.

Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya...” (TQS an-Nûr [24]: 31)

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzâb
[33]: 59)

Ayat di atas bermakna, hendaklah mereka tidak menampakkan tempat melekatnya perhiasan mereka, kecuali yang boleh tampak, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Khimâr maknanya adalah penutup kepala, sedangkan jayb (bentuk tunggal dari kata juyûb) adalah kerah baju (thauq al-qamish), yaitu lubang baju pada leher dan dada. Dengan ungkapan lain, ayat di atas mengatakan, hendaklah mereka mengulurkan penutup kepala (kerudung) ke atas leher dan dada mereka. Sementara itu, kalimat al-idnâ’u min al-jilbâb maknanya adalah mengulurkan kain baju kurung hingga ke bawah (irkhâ’). lihat pembahasan lebih lengkap tentang jilbab di ..::sini::..

Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahram-nya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika disertai mahram-nya.” (HR Muslim).

Keempat, Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.

Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.” (HR Bukhari).

Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkhutbah sebagai berikut:
“Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai seorang mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai mahram-nya. Tiba-tiba salah seorang sahabat berdiri dan berkata,‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan ibadah haji, sedangkan aku sudah ditugaskan ke peperangan anu dan anu.” Rasulullah SAW menjawab, ‘Pergilah engkau dan tunaikan ibadah haji bersama istrimu.” (HR Muslim)

Kelima, Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya, karena suami memiliki hak atas istrinya.

Maka tidak dibenarkan seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali atas izinn suaminya. Jika seorang istri keluar tanpa seizin suaminya, maka perbuatannya termasuk ke dalam kemaksiatan, dan dia dianggap telah berbuat nusyûz (pembangkangan) sehingga tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

Ibn Baththah telah menuturkan sebuah riwayat dalam kitab Ahkâm an-Nisâ’ yang bersumber dari penuturan Anas RA.
Disebutkan bahwa, ada seorang laki-laki yang bepergian dan melarang istrinya keluar rumah. Kemudian dikabarkan bahwa ayah wanita itu sakit. Wanita itu lantas meminta izin kepada Rasulullah SAW agar dibolehkan menjenguk ayahnya. Rasulullah SAW kemudian menjawab: “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu.” Tidak lama kemudian, ayah wanita itu meninggal. Wanita itupun kembali meminta izin kepada Rasulullah SAW agar dibolehkan melayat jenazah ayahnya. Mendengar permintaan itu, beliau kembali bersabda: “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu.” Allah SWT kemudian menurunkan wahyu kepada Nabi SAW: “Sungguh, Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan dirinya kepada suaminya.”

Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya. Artinya, Islam telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita, sedangkan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria.

Islam juga telah menetapkan bahwa, shaf (barisan) shalat kaum wanita berada di bagian belakang shaf shalat kaum pria. Islam juga mendorong wanita agar tidak berdesak-desakan dengan pria di jalan dan di pasar. Islam pun menetapkan bahwa kehidupan para wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahram mereka. Maka seorang wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual-beli dan sebagainya, dengan syarat begitu ia selesai melakukan aktivitasnya hendaknya ia segera kembali hidup bersama kaum wanita atau
mahram-mahram-nya.

Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahram-nya atau keluar bersama untuk berdarmawisata. Sebab, kerjasama antar keduanya bertujuan agar wanita mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping agar mereka melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi pria dan wanita, sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual. Artinya, interaksi mereka tetap dalam koridor kerjasama semata dalam menggapai berbagai kemaslahatan dan melakukan berbagai macam aktivitas. Dengan hukum-hukum inilah, Islam mampu memecahkan hubungan-hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan individual, baik pria maupun wanita, ketika masing-masing saling bertemu dan berinterkasi.

Islam pun mampu memberikan solusi terhadap hubungan-hubungan yang muncul dari interaksi antara pria dan wanita, seperti: nafkah, hak dan kewajiban anak, pernikahan, dan lain-lain. Solusinya adalah dengan membatasi interaksi yang terjadi—sesuai dengan maksud diadakannya hubungan tersebut—serta dengan menjauhkan pria dan wanita dari interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.

[Diolah dari Terjemahan Kitab an-Nidhamul Ijtima'i (Sistem Pergaulan dalam Islam) karya Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, Bab Pengaturan Hubungan Pria dan Wanita]

Posting Komentar untuk "Pengaturan Hubungan Pria dan Wanita"