Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Analisis Agenda East Asia Summit Bali (16 November 2011)

Pada tanggal 16 November 2011 akan diadakan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur atau yang sering disingkat East Asia Summit (EAS). Konferensi ini terdiri dari 16 negara anggota dan dua negara tambahan yakni AS dan Rusia. Adapun keenam belas anggota tersebut adalah; 
  1. Indonesia
  2. Malaysia
  3. Singapura
  4. Pilipina
  5. Brunei
  6. Thailand
  7. Myanmar
  8. Vietnam
  9. Australia
  10. Selandia Baru
  11. Kamboja
  12. India
  13. Cina
  14. Jepang
  15. Laos
  16. Korea Selatan

Usulan terbentuknya kerja sama regional yang lebih luas untuk negara-negara ASEAN diusulkan oleh PM Malaysia Mahathir Mohammad pada tahun 1991. Untuk pertama kalinya EAS dilakukan di Malaysia pada November 2005. Mulanya hanya diikuti oleh ASEAN+3 (yakni 10 negara anggota ASEAN ditambah Jepang, Cina dan Korea Selatan. Pada tahap selanjutnya keanggotaan EAS juga berkembang hingga Australia dan Selandia Baru ikut bergabung. Bahkan AS dan Rusia juga menyatakan diri terlibat dalam EAS ini.

Kerjasama yang dilakukan pada forum ini selain untuk membangun kekuatan perekonomian juga untuk membahas kawasan krusial yang kerap menjadi konflik di antara anggota EAS, yakni kawasan Laut Cina Selatan. Sejumlah negara kerap terlibat konflik politik hingga militer karena masing-masing mengklaim kawasan tersebut. Tercatat Cina dan Vietnam pernah terlibat konflik militer sebanyak dua kali pada tahun 1974 dan 1988.

Amerika Serikat juga secara diam-diam menjalankan strategi untuk menguasai perairan Cina Selatan tersebut dengan cara membantu Cina Taiwan. AS pernah mengirimkan armada ketujuhnya yang bermarkas di Jepang menuju kepulauan Spratly dengan laih melindungi Taiwan. Dalam setiap kunjungannya armada ketujuh ini kerap menekankan pentingnya kerjasama AS dengan negara-negara ASEAN.

Amerika Serikat juga pernah menggelar latihan tempur bersama Vietnam, jelang pembukaan pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-44 dan ASEAN Regional Forum (ARF) ke-18, Seperti dikutip dari rilis resmi pemerintah Vietnam yang diterima hari ini, AS mengirimkan tiga kapal perangnya ke Da Nang, Vietnam pada Jumat (15/7) untuk latihan dengan angkatan laut (AL) Vietnam selama tujuh hari pada pekan depan. Tiga kapal tempur tersebut yaitu kapal penyelam USNS Safeguard dan dua kapal penghancur misil, USS Chung-Hoon dan USS Preble, bersama dengan 700 orang awak kapal.

Laksamana Tom Carney, pemimpin armada AS di Vietnam, mengatakan kedatangan AS adalah upaya membangun hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara pada bidang keamanan maritim. Meski menjamin tidak ada peluru tajam yang akan digunakan, namun latihan bersama ini jelas sebuah langkah yang mengganggu upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan di Laut China Selatan. China telah menentang adanya aktivitas militer di wilayah tersebut. “Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas tersebut [latihan gabungan],” ujar pejabat tinggi militer China, Chen Bingde, seperti dikutip dari AP.

Potensi Kawasan Laut Cina Selatan

Pangkal persoalan Laut China Selatan disebabkan adanya perkiraan cadangan minyak dan gas di Kepulauan Spratly yang besar. Analisis Clive Schofield dan Ian Storey di asiaquarterly .com menyebut 1-2 miliar barrel minyak dan 225 tcf (triliun cubic feet) gas alam. Sementara estimasi lembaga statistic Amerika Serikat, Energy Information Administration (ELA) menyatakan di bawah Spratly terdapat sedikitnya 7 miliar barrel minyak dan 150,3 tcf (triliun cubic feet) gas alam. Negara-negara yang berkepantingan atas cadangan migas di Laut China Selatan a.l. Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan, Thailand dan Vietnam. Dua negara yang paling kaya cadangan migas adalah Malaysia dan Brunei.

Malaysia berkepentingan atas cadangan 3 miliar barrel minyak dan 75 tcf gas alam sementara Brunei memiliki 1,4 miliar barrel minyak dan 13,8 tcf gas alam. Sementara Indonesia sangat berkepentingan dengan Laut China Selatan disebabkan China memasukkan Kepulauan Natuna dalam peta tahun 1947 hingga 1995 dalam teritorial ZEE mereka. Dari sisi perdagangan internasional, Laut China Selatan sangat vital karena merupakan jalur utama menuju kota-kota utama di Asia Timur. Lebih dari 25% dari perdagangan dunia melintasi jalur itu, termasuk 70% kebutuhan energi Jepang dan 65% kebutuhan energi China. 

Gangguan terhadap komunikasi,pelayaran dan navigasi di kawasan ini dan berbagai ketegangan yang diakibatkannya akan memberi dampak yang merugikan bagi kepentingan Indonesia dan kestabilan regional. Seperti Vietnam,  Indonesia terganggu dengan ekplorasi migas yang dilakukan perusahaan minyak China (The Chinese National Offshore Oil Company) dan Crestone Energy Company dari Amerika Serikat pada 1992. Meski eksplorasi tersebut dilakukan di kawasan seluas 25.000 km2 dalam wilayah Nansha di Barat Laut Cina Selatan yang dekat dengan Kepulauan Natuna, namun terdapat dugaan eksplorasi menyasar wilayah Indonesia.

Selain sumber daya alam laut cina selatan, jalur pelayaran juga menjadi latar belakang kuat bagi negara-negara maju untuk menjadikan stabilitas kawasan laut cina selatan sebagai prioritas  alam aktifitas politik luar negerinya. Sebut saja jepang, 80 persen import minyaknya diangkut melalui jalur kawasan laut cina selatan. Amerika juga sangat membutuhkan kawasan ini untuk mendukung mobilitas pasukan militernya dalam melancarkan dominasi globalnya. Selain itu, Amerika juga mempunyai angka kerjasama perdagangan yang tinggi dengan negara-negara di kawasan laut cina selatan. Dengan latar belakang potensi yang begitu besar, maka tidak berlebihan jika kawasan ini menjadi objek perdebatan multilateral.


Persaingan Ekonomi & Militer AS - Cina

Konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan bisa dikatakan adalah proxy war (perang perpanjangan tangan) antara AS dan Cina. Selama ini AS dan Inggris sangat dominan dalam penguasaan ladang minyak di Indonesia. Perusahaan minyak multi-nasional asal Amerika dan Inggris itu dikenal dengan sebutan SEVEN SISTERS, yaitu Shell, British Petroleum, Gulf, Texaco, Exxon Mobil, dan Chevron. Kehadiran beberapa perusaahaan minyak Cina di Indonesia memang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya PetroChina, CNIIC, dan Sinopee. Ketika perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke Indonesia, the Seven Sisters mulai goncang. Perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke lokasi sumber minyak dan gas seperti Blok Sukowati di Jawa dan Blok Tangguh di Papua.

Oleh karena itu pemerintah AS dengan serius terus melakukan pendekatan kepada negara-negara ASEAN. Mereka beberapa kali meminta agar konflik perebutan Kawasan Laut Cina Selatan diselesaikan secara diplomatik. Dengan begitu AS akan mendapat dukungan agar pengaruh Cina di kawasan tersebut dapat dibendung atau dikurangi. 

Selain persoalan minyak dan gas bumi, AS dan Cina juga tengah bersaing untuk memperkuat hubungan militer mereka dengan negara-negara ASEAN+, yakni Korea Selatan dan Taiwan. Khusus Indonesia, meski AS terus menjalin hubungan dekat dengan Indonesia dalam bidang militer, akan tetapi Cina juga intens melakukan pendekatan kepada pemerintah RI. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda usai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu Deputi Perdana Menteri Republik Rakyat Cina Tan Jiaxuan di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (5/11).

Menurut Menlu Hassan Wirajuda, dalam pertemuan tersebut dibicarakan upaya-upaya meluaskan dan meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Cina. Antara lain, masalah kerja sama militer, pertanian, perikanan, serta investasi di bidang energi dan mineral. "Kerja sama keamanan itu terutama kerja sama industri militer. Bagaimana Cina membantu kita untuk memperbarui, meremajakan," ujar Hassan Wirajuda. Oleh karena itu, AS berkepentingan agar pemerintah RI tetap menjadikan AS sebagai satu-satunya mitra atau tepatnya majikan mereka dalam bidang militer, dan tidak beralih ke Cina. Sehingga kekuatan militer di Asia Tenggara dapat terus berada dalam kendali AS.

Sebagai kesimpulan, agenda terselubung yang sebenarnya penting dalam EAS di Bali November ini, adalah desakan AS agar negara-negara ASEAN+ (India, Jepang, Korea Selatan dan Australia) mau bersatu melawan kekuatan Cina dalam persoalan Laut Cina Selatan. Yang pada akhirnya akan memuluskan penguasaan migas dan memperkokoh militer AS di ASEAN.


Posting Komentar untuk "Analisis Agenda East Asia Summit Bali (16 November 2011)"