Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Telaah Islami Terhadap Kisruh UMR*


Telaah Islami Terhadap Kisruh UMR
demo buruh
Pendahuluan

Masalah gaji merupakan masalah yang tak kunjung usai. Permasalahan ini selalu mencuat tiap tahun, terutama pada bulan Mei, tepatnya tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai hari buruh. Walaupun keramaian permasalahan buruh ini terjadi pada pertengahan tahun. Akan tetapi, detik-detik menentukan dalam tarik ulur besaran UMR malah terjadi pada akhir tahun. Sebagaimana di lansir www.imbalankerja.com (diakses 03/11/12) bahwa setiap bulan November – Desember, di media massa baik elektronik maupun cetak, pasti ada berita mengenai unjuk rasa dari serikat pekerja di berbagai daerah. Tujuan unjuk rasa ini biasanya adalah untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pihak yang berkepentingan untuk menetapkan UMR di tahun depannya dengan kenaikan sekian persen. Ada juga unjuk rasa yang bermaskud memprotes ketetapan dari pihak yang terkait, dalam hal ini pemerintah, dalam menentukan besarnya UMR. Dalam sebuah diskusi, KSPI menyatakan: “Kami berunjuk rasa menuntut penghapusan pekerja alih daya (outsourcing) dan upah murah, buruh di Cilacap Selatan menerima upah Rp 720.000 per bulan atau lebih rendah dari upah minimum Jateng yang Rp 900.000. Ini akibat kelalaian pemerintah menyejahterakan rakyat sehingga masih banyak pekerja dengan masa kerja lebih dari setahun dan berkeluarga masih menerima upah minimum," ujar Rusdi, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) (Kompas.com, 03/11/2012). 


Terbukti pada hari yang sama – Senin, 5 November 2011 – terjadi beberapa aksi, misalnya di Cimahi; Ribuan buruh melakukan konvoi di Jl. Cibaligo Cimahi sebelum menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Pemerintahan Kota Cimahi. Mereka menuntut kenaikan upah minimum buruh yang saat ini dinilai masih rendah dan tidak mampu menunjang kesejahteraan hidup kaum buruh (Pikiran-rakyat.com, 06/11/2012). Juga di Sumedang, Ratusan buruh yang tergabung dalam Komite Upah Sumedang (KUS) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Kab. Sumedang. Mereka mendesak supaya Bupati Sumedang Dr. H. Don Murdono, DPRD serta Dewan Pengupahan Kab. Sumedang merekomendasikan besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL) buruh Sumedang Rp 1,7 juta. Besaran KHL tersebut, sebagai bahan acuan penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kab. Sumedang tahun 2013 (Pikiran-rakyat.com, 06/11/2012). Beberapa hari sebelumnya juga terjadi aksi-aksi serupa seperti di Purwakarta, ribuan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Purwakarta kembali melakukan aksi demo ke kantor Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi (Disnakersostrans) Purwakarta, Selasa (30/10/2012). Mereka kembali menyampaikan tuntutan kenaikan upah minimum kabupaten (UMK) Purwakarta tahun 2013 sebesar Rp 2 juta (Pikiran-rakyat.com, 06/11/2012). Bahkan, seluruh organisasi buruh yang mewakili buruh se-Jakarta mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengingkari janjinya. Hal itu diungkapkan Koordinator Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI) Bayu Murdianto, terkait dengan tuntutan para buruh atas Upah Minimum Provinsi (UMP) dan nominal Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Bayu mengatakan, tuntutan mereka itu sudah disampaikan sebelumnya pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama beberapa waktu lalu (Kompas.com, 06/11/2012).

Perdebatan dalam menentukan besaran UMR memang sangat alot. Dalam Harian Suara Merdeka (01/11/2012), Dewan Pengupahan Jateng menyatakan bahwa untuk UMR tahun 2013 yang diusulkan oleh kabupaten/kota rata-rata naik 10-20% dibandingkan tahun sebelumnya. Itu pun belum mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Tengah, karena masih ada daerah (pengusaha dan buruh) yang belum mencapai kata sepakat dalam menentukan besaran usulan UMR semisal kota Pekalongan, Batang dan Kudus. Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa dalam penetapan UMR memang lama dan alot, karena membutuhkan kesepakatan antara dua pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda, yaitu pengusaha yang ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan para buruh yang menginginkan gaji yang tinggi pula. Belum lagi masalah yang tambahan yang menghiasi dunia perburuhan, seperti outsourcing, PHK, gaji yang ditahan dan ketidakadilan yang berbau SARA, seperti larangan menggunakan jilbab dan sulitnya izin melaksanakan shalat.

Kisruh Setelah UMR Ditetapkan

Setelah UMR ditetapkan bukan berarti masalah standar upah telah selesai. Akan tetapi, di sana masih banyak menyisakan masalah, bahkan lebih besar lagi. Masalah tersebut di antaranya:

a. Upah tidak mencukupi kebutuhan buruh

Masalah ini sering terulang, bahkan bisa jadi sebagai masalah abadi bagi para buruh. Penelitian-penelitian telah membuktikan hal tersebut. Misalnya menurut Handayani (2000), berdasarkan penelitian per Desember 1998 buruh daerah Cimahi hanya memperoleh upah 50% dari nilai KHM [1] . Tahun 1999 untuk daerah NTB upah baru mencapai 80% dari KHM, bahkan pada April 2000, upah di DKI Jakarta hanya sekitar 47% dari nilai KHM.

Lalu bagaimana dengan buruh yang telah mendapatkan upah sesuai UMR atau di atas UMR? Ternyata mereka pun belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi menyisihkan sebagian pendapatannya untuk menabung. Hal ini terbukti dari demonstrasi-demonstrasi para buruh, kenaikan UMR tiap tahun yang menunjukkan kebutuhan semakin bertambah dan perubahan standar penentuan UMR, mulai dari KFM, KHM kemudian yang terakhir adalah KHL [2] . Sebenarnya metode KFM, KHM dan KHL tidaklah berbeda, yang berbeda hanyalah jumlah butir-butir dari unsur sandang, pangan, papan dan aneka kebutuhan yang masuk perhitungan.

Menurut penelitian SMERU, Sebagian besar pekerja menyatakan sulit untuk menghitung tingkat kecukupan upah. Pada umumnya pekerja menyatakan bahwa tanpa uang lembur atau tunjangan lain upah yang diterima mereka tidak akan dapat mencukupi kebutuhan hidup. Akibatnya sebagian pekerja terpaksa harus mencari pekerjaan lain di luar jam kerja, misalnya membuka warung, usaha lain, atau merangkap kerja di tempat lain (Rahayu dkk, 2003).

b. Kenaikan UMR memberatkan perusahaan

Kenaikan UMR merupakan kabar gembira bagi para buruh, walaupun menyisakan sejumlah masalah. Akan tetapi, merupakan kabar buruk bagi perusahaan, karena ia akan menjadi tambahan biaya dan mengurangi pendapatannya. Sebagaimana terjadi pada awal 2002 lalu, di Surabaya, sejumlah pengusaha memperkirakan kenaikan UMR sebesar 37 persen itu akan membuat banyak perusahaan `kolaps` dan gulung tikar serta terpaksa melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) kepada karyawannya (Gatra.com, diakses 06/11/2012).

Pada awal 2012, para pengusaha pun menolak kenaikan TDL, UMR dan BBM sekaligus. Kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10 persen yang direncanakan pemerintah, menurut Sofyan Wanadi (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)), juga akan mengakibatkan kenaikan upah buruh sebesar 30 persen. Jika dua rencana ini direalisasikan dan masih ditambah dengan kenaikan harga BBM subsidi, maka hal ini bisa mematikan usaha UMKM (Okezone.com, 06/11/2012).
Bahkan menurut penelitian SMERU, banyak perusahaan yang menolak kenaikan UMR karena tidak mampu membayar gaji karyawan sesuai dengan UMR. Dan ada juga perusahaan yang hampir bangkrut gara-gara kenaikan UMR (Rahayu dkk, 2003). 

Pantas saja permasalahan ini oleh berbagai media sering disebut sebagai permasalahan abadi. Karena tidak pernah memuaskan ke dua belah pihak, pengusaha dan buruh. Perusahaan yang berpandangan positif, biasanya perusahaan besar dan PMA, adalah perusahaan yang tidak mengalami masalah dan mempunyai kemampuan dalam menerapkan UMR. Kenaikan UMR masih dianggap wajar. Walaupun demikian mereka juga mempermasalahkan peraturan yang terlalu sering berganti-ganti. Misalnya, kebijakan UMR dilakukan 3-4 kali dalam satu tahun. Hal ini telah menyulitkan pihak perusahaan terutama dalam melakukan perencanaan dan perhitungan cashflow. Perusahaan juga tidak dapat memperkirakan saat harus menaikkan upah sesuai dengan UMR (Rahayu dkk, 2003).

Telaah Terhadap Kisruh UMR

Kesalahan standar penentuan gaji

Kisruh perburuhan, khususnya UMR, sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka (Hizbut-tahrir.or.id, 31/10/2012). Faktanya, walaupun nilai KHL naik tiap tahun, kebutuhan buruh tetap tidak mampu tercukupi. Sebagaimana disampaikan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera (KSBSI) Kabupaten Kudus, melalui juru bicaranya, Slamet Machmudi, Minggu (14/11), bahwa revisi Permenaker 17 tahun 2005 terkait 46 komponen kebutuhan obyek survei menjadi Permenaker 13 Tahun 2012 (60 komponen kebutuhan obyek disurvei) untuk menentukan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), ternyata hanya isapan jempol semata (Suaramerdeka.com, 06/11/2012).

Biaya-biaya siluman yang membebani Perusahaan

Sebenarnya, biaya tenaga kerja bukanlah beban terbesar yang ditanggung perusahaan. Pungutan-pungutan juga merupakan hal yang membebani perusahaan, seperti halnya PPh, pajak produsen, pajak iklan, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk mengurangi beban tersebut, perusahaan biasanya mengakalinya dengan mengotak-atik biaya dari bagian tenaga kerja. Sehingga muncullah masalah outsourcing, tenaga kerja murah dan perusahaan tidak terbebani dengan berbagai aturan sebagaimana tenaga kerja tetap. Menurut Sudiyatno dan Astuti (1997), biaya tenaga kerja (upah buruh) sangat rendah. Bahkan, lebih rendah dari biaya administrasi/birokrasi. Biaya tenaga kerja mencapai 9% dari total biaya produksi, sedangkan biaya administrasi/birokrasi mencapai 11% dari total biaya produksi. Padahal idealnya, biaya administrasi/birokrasi seharusnya lebih rendah dari biaya tenaga kerja, seperti yang terjadi di negara-negara maju, sehingga upah buruh menjadi lebih tinggi.

Bahkan, penelitian terbaru dari Ina Primiana, anggota LP3E (Lembaga Pengkajian Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi) Kadin, menyebutkan bahwa biaya siluman (birokrasi, korupsi dan infrastruktur) yang dikeluarkan oleh pengusaha atau investor antara 20%-30% dari total  biaya operasional perusahaan (Suarapengusaha.com, 06/11/2012). Oleh karena itu, sangat wajar porsi biaya untuk gaji karyawan tersedot untuk menutup biaya siluman tersebut.

Kebutuhan pokok masyarakat tidak dijamin pemerintah

Kemudian jika kita melihat kebutuhan para buruh. Maka, akan kita temukan bahwa kebutuhan para buruh, selain terhadap makanan, juga terhadap kesehatan, pendidikan, air dan listrik. Terlihat dari faktor yang paling berpengaruh terhadap GK (Garis Kemiskinan) [3]. Menurut BPS, Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) [4] memiliki peranan sangat dominan, yaitu mencapai 73,52 persen pada Maret 2011 dan 73,50 persen pada Maret 2012 (Laporan Data Sosial Ekonomi, Nov 12). Atau dengan melihat data di bawah ini:
kelompok perhitungan UMR
Jika kita melihat, kebutuhan akan barang dan jasa (di dalamnya mencakup pendidikan dan kesehatan), dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dan pemenuhannya hanya diperoleh dari pendapatan berupa gaji/upah. Atau data lebih detail, namun data tahun lama sebagai berikut:
Distribusi Rumah Tangga berdasarkan pola konsumsi
Data tersebut menunjukkan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan mencapai >8,2% (tahun 2000) dan terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. 

Solusi Islam Terhadap Masalah UMR

Untuk mengatasi permasalahan UMR ini, secara Islami ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
1. Menentukan standar upah dengan standar manfaat kerja/pekerjaan.

Kontrak kerja dalam Islam dikenal dengan istilah ijaratul ajiir. Dalam menentukan standar upah, Islam telah menentukannya yaitu sesuai dengan manfaat pekerjaan/hasil kerja maupun manfaat pekerja/jasa, bukan berdasarkan pengalaman karyawan atau ijasah. (an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, Juz II hal 131). Dalilnya adalah definisi syar'i bagi ijarah (sewa-menyewa), karena definisi syar'i adalah hukum syara dan juga kaidah syar'iyyah yang digali dari dalil syara atau dalil-dalil syara dengan ijtihad yang benar. Oleh karena itu, definisi syar'i termasuk dalil syara' bagi suatu masalah yang padanya diterapkan definisi tersebut. ... Sedangkan definisi syar'i bagi ijarah adalah "aqd[un] 'ala al-manfaah bi iwadh[in]" (akad terhadap manfaat dengan kompensasi). Manfaat dari seorang pekerja kadang berupa manfaat dari pekerjaan yang ia lakukan, seperti halnya seorang insinyur, kadang berupa manfaat dari diri pekerja itu sendiri, seperti halnya seorang pembantu (an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, Juz II hal 132).

Apabila upah pekerja dikaitkan dengan apa yang dia hasilkan, atau dengan kebutuhan-kebutuhan yang dia perlukan, maka dia telah dihalangi untuk menikmati kehidupan yang layak. Cara semacam itu tentu tidak diperbolehkan. Sebab, hak hidup wajib diberikan kepada setiap orang yang menjadi warga negara; baik dia telah menghasilkan banyak (kekayaan) ataupun sedikit, baik yang mampu ataupun tidak. Upahnya ditakar berdasarkan nilai jasanya, baik mencukupi kebutuhannya ataupun tidak. Jadi, salah apabila perkiraan upah pekerja ditentukan berdasarkan harga-harga barang yang dihasilkannya, ataupun berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya (an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, hal 105).

Lalu bagaimana kita mengetahui besarnya suatu manfaat/jasa sebuah pekerjaan? As-Sabatin (2009: 345) menyatakan bahwa deskripsi pekerjaan dan penyebutan waktu merupakan standar bagi manfaat/jasa. Sehingga dengan membandingkan deskripsi satu pekerjaan dengan yang lainnya, kita dapat menerjemahkannya ke dalam satuan moneter tertentu. Tentunya dengan tidak memasukkan unsur kebutuhan minimum pekerja.

2. Menghilangkan pungutan-pungutan yang membuat perusahaan tidak efisien.

Sebagaimana diketahui, bahwa pungutan-pungutan berupa biaya administrasi/birokrasi merupakan biaya siluman yang membebani perusahaan. Maka, sudah seharusnya biaya ini dihilangkan oleh negara. Dalam Islam, pendapatan negara hanya diperoleh dari harta kekayaan yang dikelola oleh negara yang meliputi pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum).

Pajak yang diberlakukan pada perusahaan-perusahaan sekarang tidak dikenal dalam Islam. Pajak (dharibah) hanya dikenakan kepada kaum muslim yang kaya dan pada waktu-waktu tertentu ketika baitul maal mengalami kekurangan dana. Sehingga ia bersifat temporal bukan permanen. Apalagi jika perusahaan negara lainnya – yang menghasilkan listrik, gas, dan BBM – bersinergi memberikan pelayanan murah kepada masyarakat termasuk perusahaan. Maka, biaya operasional perusahaan pun dapat ditekan.

3. Negara mengambil alih kewajiban perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, khususnya pendidikan dan kesehatan.

Menurut Islam, kebutuhan pokok masyarakat, yang meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan, wajib ditanggung oleh negara. Dengan begitu, pengusaha tidak lagi dibebani berbagai macam kebutuhan tersebut sebagaimana tercantum dalam butir-butir KHL. Begitu juga dengan para buruh, mereka akan lebih tenang memperoleh gaji berapa pun, karena kebutuhan pokok masyarakat telah disediakan oleh negara dengan gratis atau dengan harga yang sangat terjangkau.

Seandainya biaya siluman akibat korupsi, biaya administrasi/birokrasi yang mencapai 20-30% diberikan 10%nya untuk porsi gaji karyawan. Maka dapat dipastikan mereka dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Belum lagi 10% dari kebutuhan mereka, berupa pendidikan dan kesehatan, telah ditanggung negara. Kesejahteraan bukan lagi menjadi hal mustahil bagi para buruh dan semua itu dapat tercapai ketika aturan-aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan diterapkan secara sempurna dalam naungan khilafah. Insyaallah 

--- wallahu a’lamu bi as-shawab ---

*disampaikan dalam Halqah Syahriyyah, 11 Nov 12, DPC HTI Purwokerto

[1] KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) sebuah standar untuk menentukan besaran nilai UMR. Sebelumnya bernama KFM (Kebutuhan Fisik Minimum) dan sekarang telah berubah menjadi KHL (Kebutuhan Hidup Layak)
[2] Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-17/MEN/VIII/2005
[3] Garis Kemiskinan mengacu kepada besarnya pengeluaran/konsumsi per kapita per bulan. Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan
[4] Komoditi bukan makanan yang sangat mempengaruhi GK adalah biaya perumahan, listrik, biaya pendidikan, dan pengeluaran untuk bensin


Sumber Bacaan:

Buku 
- Taqiyyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur Juz II, Darul Ummah, Beirut-Libanon, 2010 (Pdf file)
- Taqiyyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Al-Azhar Press, Bogor, 2009
- Yusuf as-Sabatin, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Al-Azhar Press, Bogor, 2009

Media Cetak:
- Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi November 2012, didownload dari www.bps.go.id tanggal 06/11/2012
- Harian Suara Merdeka tanggal 01/11/2012
- Hafidz Abdurrahman, Cara Islam Mengatasi Masalah Perburuhan, www.hizbut-tahrir.or.id, diakses 31/10/2012
- Bambang Sudiyatno dan Sih Darmi Astuti, Persoalan-Persoalan di Sekitar UMR, didownload dari www.lipi.go.id tanggal 03/11/2012
- Titik Handayani, UMR dan Gejolak Buruh di Masa Krisis, didownload dari www.smeru.or.id tanggal 03/11/2012
- Sri Kusumastuti Rahayu, dkk, Penerapan Upah Minimum di Jabotabek dan Bandung, didownload dari www.smeru.or.id tanggal 03/11/2012
- Ojon, Skripsi Analisis Sistem Pengupahan pada Perusahaan Berbasis Syariah (Studi Kasus CV. Al Manar Herbafit), STEI Hamfara, Yogyakarta, 2011

Website:
- 3 Masalah di Balik Kisruh Penetapan UMR,  www.imbalankerja.com, diakses 03/11/2012
- Gonjang Ganjing Seputar Kebutuhan Hidup Layak, www.kompas.com, diakses 03/11/2012
- Waduh…Korupsi, Birokrasi dan Infrastruktur Sedot 30% Biaya Operasional Perusahaan, www.suarapengusaha.com, diakses 06/11/2012
- Basuki Ingkar Janji, Buruh Ancam "Goyang" Jakarta, www.kompas.com, diakses 06/11/2012
- Ratusan Buruh di Kab. Sumedang Lakukan Unjukrasa Tuntut KHL Sebesar Rp 1,7 Juta, www.pikiran-rakyat.com, diakses 06/11/2012
- Buruh Cimahi Tuntut Kenaikan Upah, www.pikiran-rakyat.com, diakses 06/11/2012
- Ribuan Buruh Minta UMK Mencapai Rp 2 Juta, www.pikiran-rakyat.com, diakses 06/11/2012
- UMK 2013 Tak Sejahterakan Buruh, www.suaramerdeka.com, diakses 06/11/2012

Posting Komentar untuk "Telaah Islami Terhadap Kisruh UMR*"