Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Metode Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat

Metode Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Akhir-akhir ini kita diramaikan dengan istilah Islam Nusantara yang menguat pasca pembacaan ayat suci al-Quran dengan langgam Jawa di Istana negara. Pro kontra pun merebak di masyarakat, baik di antara para ahli atau ulama mapun di kalangan para pelajar
Shalat Shubuh berjamaah di GBK
muslim. Baik karena definisinya yang belum menemukan kata sepakat, maupun karena disinyalir istilah ini bertujuan membawa masyarakat menjadi antipati terhadap penerapan syariah Islam yang notabenenya merupakan harga mati dalam Islam.

Akan tetapi, bukan hal tersebut yang akan dibahas pada kesempatan kali ini. Penulis mengajak pembaca sekalian untuk melihat bagaimana sebenarnya Islam mengubah masyarakat, baik itu masyarakat di bangsa Arab, Persia, Nusantara maupun yang lainnya. Apa yang sebenarnya menjadikan suatu masyarakat itu disebut sebagai masyarakat Islam, yang tentunya berbeda dengan yang lainnya. Dengan begitu, kita akan mampu mendudukkan diri sebagai muslim.

Perubahan masyarakat karena datangnya Islam dapat digambarkan oleh dialog antara Kaum Muhajirin di Habasyah yang diwakili Ja’far bin Abi Thalib dengan Raja Najasy, ketika kaum Quraisy mengutus Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amr bin ‘Ash untuk membawa mereka kembali ke Makkah. Saat  itu Najasy  berkata kepada  umat  Islam  yang berhijrah  “Apa  sebenarnya  agama  ini,  yang telah memecah  belah  kaum  kalian,  sementara kalian juga tidak masuk ke dalam agamaku atau salah satu agama di antara ajaran (millah) yang ada?”

Maka Ja’far  bin  Abi  Thalib  berkata: “Wahai  Paduka,  dahulu  kami  adalah suatu kaum  yang  diliputi  kebodohan  (jahiliyyah) dengan  menyembah patung,  memakan  bangkai, melakukan perzinaan, memutuskan silaturrahm, berlaku  buruk  pada  tetangga,  yang  kuat memakan yang lemah. Begitulah keadaan kami dahulu. Hingga Allah menghadirkan ke hadapan kami  seorang rasul  dari  kalangan  kami  sendiri yang kami kenal garis keturunan, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya (‘iffah). Ia datang menyeru  kami untuk  mengesakan  Allah  dan menyembah-Nya.  Lantas  kami  mencampakkan apa yang dahulu kami dan leluhur kami sembah selain  Allah  berupa  bebatuan dan  berhala.  Ia memerintahkan kepada kami untuk jujur dalam bertutur, menunaikan  amanah,  menyambung silaturrahmi,  berbuat  baik  pada tetanggamenahan diri dari perkara yang diharamkan dan tidak  saling menumpahkan  darah.  Iapun melarang kami untuk melakukan kemesuman (al fawaahisy)  dan  perkataan  keji  (qawl  uz  zuur), memakan  harta  anak yatim, serta  menuduh berzina  perempuan  yang  baik-baik.  Diapun memerintahkan kami  untuk  semata-mata menyembah  Allah  dengan  tidak menyekutukanNya dengan  sesuatu  apapun,  melaksanakan shalat,  shaum,  zakat. - Sebuah riwayat menyebutkan hingga mencapai bilangan perkara yang diperintahkan Islam - Lalu kemudian kami membenarkan dan mengimani  beliau, serta mengikuti apa yang  beliau  bawa  dari  Allah. Sehingga kami hanya menyembah  Allah  saja, tidak  menyekutukan-Nya  dengan  sesuatu apapun. Kami  mengharamkan  apa  yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan apa yang  dihalalkan bagi  kami. Tetapi kaum kami malah memusuhi dan menyiksa kami, menimpakan cobaan (fitnah) kepada kami agar kami menjauhi agama kami guna mengalihkan kami kepada penyembahan terhadap berhala setelah kami menyembah Allah. Dan agar kami kembali menghalalkan apa yang dahulu pernah kami halalkan berupa barang-barang najis (al khabaa-its). Tatkala mereka memaksa kami dan menzhalimi  kami serta mempersempit  ruang gerak  kami,  menaruh tapal batas  antara kami dan agama kami, maka keluarlah kami menuju ke negeri Paduka. Padukalah yang kami pilih di antara  sekian  banyak  yang  ada. Kami begitu berharap  agar dapat  berada  di  sekitar  Paduka dengan harapan kami tidak akan dizhalimi bila berada di sisi tuan wahai Paduka Raja”. 

Serta merta  Najasy  menyela: “Apakah  Anda membawa  sesuatu  yang datang dari  Allah?” 
Ja’far menjawab: “Benar”.
Najasy melanjutkan: “Perdengarkan kepadaku!”
Maka mulailah Ja’far membacakan  surat  kaaf  haa yaa  ‘ayn shaad. Demi Allah, saat mereka mendengar Najasypun menangis hingga (air mata) membasahi janggutnya  disertai cucuran air mata para pendeta yang membasahi mushhaf yang ada di pangkuan mereka.

Kemudian  Najasy berkata kepada mereka: “Sesungguhnya perkara ini (Islam-peny) dan apa yang dibawa  oleh Isa  as  benar-benar keluar  dari  satu misykat (cahaya/sumber-peny) yang sama. Maka pergilah kalian berdua. Sekalikali tidak,  demi  Allah, aku  tidak akan menyerahkan  mereka  (umat Islam) kepada kalian berdua, dan tidak akan membuat mereka terpedaya.” Demikian  ucap Najasy kepada dua orang utusan Quraisy.”

Juga bisa dilihat dari percakapan Abu Sufyan bin Harb, sewaktu belum memeluk Islam, dengan Hiraklius, Raja Romawi di Syam. Saat itu Hiraklius mendapatkan surat dari Rasulullah SAW untuk memeluk Islam dan tengah terjadi perjanjian damai antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin. Abu Sufyan ditanya banyak hal mengenai RasuluLlah, baik tentang nasabnya, kepribadiannya, keadaan pengikut RasuluLlah dan lain-lain. Ketika ditanya tentang apa yang diperintahkan oleh RasuluLlah, Abu Sufyan menjawab:
“Menyembah Allah dan mengesakan-Nya serta jangan menyekutukan-Nya. Ia menyuruh meninggalkan apa yang dikatakan nenek moyang, memerintahkan shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan dan menyambung silaturahmi” [Lihat HR Bukhari No. 6]

Itulah jawaban jujur tentang Islam dan Rasulullah dari seorang musuh RasuluLlah saw, ketika itu. Dari dua kisah di atas, setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Islam mampu mengubah masyarakat dengan perubahan yang luar biasa. Perubahan inilah yang membentuk masyarakat Islam. Dari sana pula, kita bisa melihat metode Islam dalam kehidupan masyarakat yang dibangun dalam tiga prinsip, yaitu:
  • Asas yang mendasari kehidupan adalaha aqidah Islam
  • Tolak ukur dalam kehidupan adalah halal dan haram, atau perintah dan larangan Allah
  • Makna kebahagiaan dalam pandangan Islam adalah tercapainya ridha Allah.

Inilah prinsip-prinsip yang melahirkan peradaban Islam yang luar biasa dan memiliki kontribusi besar pada dunia. Prinsip-prinsip ini pula yang melahirkan generasi hebat dan mulia. Semoga kita mampu menanamkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan pribadi kita, keluarga kita dan menyampaikannya kepada masyarakat sekita kita sehingga masyarakat Islam dan peradaban mulia pun kembali muncul dan berjaya.
Wallahu ‘alam


Bacaan:
Dirasatun fil fikril Islami karya Syaikh Muhammad Husain Abdullah
Ad-Daulatul Islamiyyatu karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani



Posting Komentar untuk "Metode Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat"