Mimpi Para Ulama Bukan Sembarang Mimpi
Mimpi dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-hulmu (jamaknya : al-ahlaam), atau al-manaam, atau al-ru`yaa. Definisi mimpi adalah apa yang dilihat oleh orang yang bermimpi dalam tidurnya (maa yaraahu al-naa`im fi naumihi). (Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jamul Wasith, hlm. 195; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqahaa’, hlm. 142).
Menurut Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Sulthan bin Surur dalam kitabnya Tafsir Al-Ahlam Juz I hlm.131-132, mimpi itu secara garis besar ada 2 (dua) macam. Pertama, mimpi yang benar (shahih),
yaitu mimpi yang berasal dari Lauhil Mahfuzh. Misalnya, mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Kedua, mimpi yang tidak benar, atau mimpi yang rusak (fasid). Mimpi jenis kedua ada beberapa macam. Di antaranya apa yang disebut haditsun nafs,
yaitu cetusan perasaan jiwa. Misalnya orang yang dalam keadaan sadar
menyaksikan sesuatu, lalu dalam mimpinya dia menyaksikan sesuatu itu.
Walhasil, mimpi itu tak semuanya omong kosong. Ada mimpi yang benar (shahih).
Nah, bagi sebagian orang, mimpi yang benar ini merupakan inspirasi
atau penguat motivasi untuk menghasilkan karya-karya agung (magnum opus)
yang sangat monumental dan spektakuler. Para ulama tak sedikit
menghasilkan berbagai prestasi atau karya besar dengan inspirasi mimpi
seperti ini.
Imam Buwaithi, seorang mujtahid
mazhab Syafi’i, berkata,"Imam Syafii datang kepada kami di Mesir dan
dia banyak membantah Imam Malik. Maka akupun menuduhnya [yang
bukan-bukan] namun aku tetap kebingungan. Aku pun memperbanyak sholat
dan doa dengan harapan agar Allah menunjukkan kepadaku mana dari
keduanya yang haq. Lalu aku melihat dalam mimpiku bahwa kebenaran ada
bersama Imam Syafii…" (Musthafa Abdur Razaq, Tamhid li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, hal. 224; dikutip oleh Ahmad Nahrawi Abdus Salam, Al-Imam Asy-Syafii fi Madzhabaihi Al-Qadim wa Al-Jadid, hal. 71).
Imam Saifuddin Al-Amidi, pengarang kitab Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam,
berkata,"Aku bermimpi seakan-akan ada suara yang mengatakan,'Ini
adalah rumah Imam Ghazali.' Aku pun masuk ke dalamnya dan aku temukan
sebuah peti mayat (tabut). Lalu aku buka peti itu dan aku
dapati Imam Ghazali ada di dalamnya dengan kain kafannya, yang terbuat
dari kain katun. Lalu aku menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan
aku pun menciumnya.' Ketika aku bangun, aku berkata pada diriku
sendiri,'Adalah layak bagiku untuk menghapalkan perkataan Al-Ghazali.'
Aku pun mengambil kitab Al-Mustashfa karya Imam Ghazali kemudian menghafalnya dalam waktu singkat." (Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Bab Tarjamah Al-Mu`allif, Juz 1, Beirut : Darul Fikr, 1996).
Imam Bukhari (194-256 H/810-870 M), penulis kitab hadits paling top, yaitu Shahih Al-Bukhari,
pernah berkata,"Aku bermimpi melihat Nabi SAW, seolah-olah aku berdiri
di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk
menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir
mimpi. Ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis
kebohongan dari hadis Rasulullah SAW. Mimpi inilah antara lain yang
mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' Ash-Shahih [Shahih al-Bukhari]." (Muhammad Muhammad Abu Syu'bah, Kitab Hadis Sahih yang Enam (fi Rihab As-Sunnah : Al-Kutub Ash-Shihah As-Sittah), Penerjemah Maulana Hasanudin, [Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa], 1991, hal. 46).
Imam
Taqiyuddin An-Nabhani (1909-1977), pendiri Hizbut Tahrir, suatu hari
pernah ditanya seseorang,"Bagaimana bisa terlintas dalam benak Anda
untuk mendirikan Hizbut Tahrir?” Maka beliau menjawab,”Aku melihat
Rasulullah SAW dalam mimpiku, sedang aku tengah duduk sendirian di
Masjidil Aqsha. Lalu Rasulullah SAW berkata kepadaku,'Berdirilah dan
berkhutbahlah kepada orang-orang!' Aku pun berkata,'Bagaimana aku akan
berkhutbah sedangkan di masjid ini tidak ada seorang pun?' Rasulullah
SAW berkata kembali kepadaku, 'Berdirilah dan berkhutbahlah kepada
orang-orang!' Maka aku pun berdiri dan mulai berkhutbah. Tiba-tiba
orang-orang mulai berdatangan, seorang demi seorang, serombongan demi
serombongan hingga memenuhi Masjidil Aqsha dan masjid ini pun kemudian
penuh sesak dengan orang-orang di dalamnya." (http://www.alokab.com;
dikutip oleh Muhammad Muhshin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Daulah Al-Khilafah, Baghdad : Kulliyah Ushuluddin Al-Jami’ah Al-Islamiyah, 2006, hal. 9).
Subhanallah,
berkat pertolongan Allah SWT, Hizbut Tahrir kini telah tersebar luas di
seluruh penjuru dunia. Itu bermula dari sebuah kelompok pengajian oleh
Imam Taqiyuddin An-Nabhani di sebuah pojok di Masjidil Aqsha,
Yerussalem, Palestina, tahun 1953. Kini Hizbut Tahrir terus menyebarkan
dakwah dan perjuangannya untuk menegakkan Syariah dan Khilafah di lebih
dari 45 negara, termasuk di Indonesia. Semoga ini adalah perwujudan dan
makna dari mimpi Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah. Amien. [KH. M Shiddiq al-Jawi]
Jakarta, 31 Juli 2011 (1 Ramadhan 1432 H)
Posting Komentar untuk "Mimpi Para Ulama Bukan Sembarang Mimpi"