Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Merenungkan Kembali Khittah Kartini


Andai Kartini masih hidup, mungkin air matanya akan jatuh. Perjuangannya membela perempuan, ditafsirkan sangat melenceng dari khittah. Profil perempuan masa kini sungguh jauh dari gambaran ideal yang dikehendaki Kartini. Yakni, perempuan yang menyadari kodratnya, cerdas, terampil dan menikmati peran sebagai istri, ibu, pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.

Seperti penuturan Kartini dalam suratnya: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Potret generasi Kartini masa kini justru sebaliknya. Yakni perempuan yang mulai meremehkan kodratnya dan bahkan mengabaikan keterampilan terkait kewajibannya. Memang perempuan makin terdidik, namun bukan malah menjadikannya  pintar menjalankan kewajibannya, melainkan disibukkan menuntut hak-haknya.

Ini karena keberhasilan perjuangan kesetaraan perempuan dan laki-laki dimaknai kesamaan peran kedua jenis kelamin itu dalam berbagai lapangan kehidupan. Emansipasi diklaim sukses jika makin banyak perempuan berkiprah menyamai laki-laki, baik di bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan sebagainya.



Ukuran keberhasilan emansipasi di bidang politik diterjemahkan sebagai: berapa banyak banyak perempuan menjadi lurah, camat, bupati, gubernur, anggota dewan, menteri dan bahkan presiden. Makin banyak, dianggap makin sukses. Padahal, fakta berbicara, tidak banyak perempuan yang suka dengan dunia politik praktis yang selama ini didominasi laki-laki.

Bukan semata-mata kurang terbukanya peluang, lebih karena kurangnya minat. Bahkan ketika kuota partisipasi perempuan di poliyik dipatok 30 persen pun, tidak lantas membuat perempuan bersuka cita berbondong-bondong memenuhinya. Ini karena citra politik yang kotor, penuh intrik dan kolutif, yang bertentangan dengan fitrah perempuan yang lemah-lembut dan penuh kasih.

Di bidang ekonomi, perempuan dianggap setara dengan ukuran: punya penghasilan sendiri, tidak tergantung pada suami dalam hal keuangan. Jadi, makin banyak perempuan bekerja, menjadi sekretaris, direksi, pengusaha wanita, dll, dianggap parameter keberhasilan emansipasi. Bahkan, makin banyak perempuan jadi artis, meski dengan membuka aurat, menanggalkan rasa malu, mengeksploitasi bagian tubuhnya yang paling tabu, demi terkenal dan kaya materi, dianggap keberhasilan emansipasi.

Dengan demikian, sosok perempuan sukses yang dijadikan ikon keberhasilan perjuangan emansipasi digambarkan sebagai perempuan mandiri, bebas menentukan nasib sendiri, bebas mengaktualisasikan diri, mendapatkan hak-haknya meski dengan meninggalkan kewajibannya.

Hasilnya, kaum hawa kini begitu menuhankan kebebasan. Bahkan ekspoitasi tubuh perempuan pun dianggap kemajuan zaman. Dengan kesadaran penuh, para perempuan menjadikan kemolekan tubuhnya sebagai aset, komoditi dan selling point yang harus disyukuri.

Perempuan masa kini lebih bangga mendapat sebutan wanita karier dibanding ibu rumah tangga. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, dengan bos atau relasinya, dibanding bercengkerama di rumah dengan suami atau anak-anaknya. Jika suami, ayah atau kerabat melarangnya, akan dikenai pasal kekerasan dalam rumah tangga. Penjara taruhannya.

Perempuan pun bersaing dengan laki-laki dalam berbagai peran, yang berujung pada banyak kaum laki-laki yang tersingkir dari percaturan publik. Ya, banyak suami yang menganggur atau di-PHK, karena perusahaan lebih suka mempekerjakan perempuan. Selain lebih telaten, teliti dan rajin, perempuan (cantik) lebih menguntungkan perusahaan karena bisa menjadi ujung tombak dalam mendatangkan pundi-pundi. Maka, profesi perempuan pelobi, sales girl, customer service, front liner, public relation dan juga personal banker, selalu mensyaratkan penampilan menarik dalam rekrutmennya.

Itu hanyalah satu dampak sosial yang ditimbulkan. Dampak lain, meningkatnya problem-problem sosial dari tahun ke tahun, seperti perselingkuhan, perzinaan, perceraian dan single parent. Juga meningkatnya kejahatan seksual, perkosaan, dan perdagangan perempuan. Belum lagi merangseknya para perempuan di lembah kriminal, seperti kasus Zarima Mirafsur, Lidya Pratiwi, Sally Yustikawati dan Malinda Dee. Penjahat masa kini bukan lagi lelaki berwajah sangar dan bertampang seram, tapi juga wanita seksi.

Jelas, semua itu bukan kehendak Kartini. Memang, Kartini terlanjur dilekatkan sebagai peletak dasar emansipasi perempuan di Tanah Air. Padahal, sebagaimana kutipan salah satu isi surat Kartini di atas, jelas-jelas Kartini tak menghendaki kaumnya diekspolitasi. Kartini sejatinya memperjuangkan agar perempuan mendapatkan haknya menikmati pendidikan, agar ia cakap menjalankan tugas kodratinya. Itu saja.

Bahkan, meski bergaul dengan perempuan bangsawan Eropa (Belanda), Kartini tidak lantas silau untuk mengadopsi gaya hidup mereka. Lihatlah petikan salah satu suratnya: “…sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradapan?”

Kritik Kartini terhadap perempuan Barat yang terlalu terbuka, bebas dan liberal, pantas dialamatkan pada generasi Kartini masa kini. Karena itu, kita hendaknya merenungkan kembali khittah perjuangan Kartini. Saatnya menghentikan emansipasi perempuan yang kebablasan. Terlebih jika itu hanya membuahkan eksploitasi perempuan.

Perempuan adalah makhluk mulia. Alangkah nistanya jika hanya dihargai sebatas penampilan fisiknya. Eksploitasi fisik dan pikirannya, tidak sejalan dengan fitrah dan nurani perempuan. Saatnya untuk menghentikan itu semua dan mengembalikan kemuliaan perempuan pada kodratnya.[]

Kholda Naajiyah, S.Si,
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia.

Posting Komentar untuk "Merenungkan Kembali Khittah Kartini"