Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Seputar Debt Collector

Soal:
Bagaimana status hukum debt collector dalam Islam? Bolehkah menagih hutang dengan menggunakan jasa debt collector? Jika tidak, bagaimana caranya menagih hutang kepada orang yang tidak beritikad baik untuk membayar hutang dalam pandangan Islam?

Jawab:
Sebelum membahas tentang hukum debt collector ini, ada baiknya kita menelaah lebih jauh faktor yang menyebabkan terjadinya praktik penagihan hutang dengan menggunakan jasa mereka, yang oleh Menkum HAM, Patrialis Akbar (6/4/11), disebut sebagai tindakan main hakim sendiri. Masih menurut dia, secara hukum penggunaan jasa debt collector ini dianggap ilegal.

Dalam hukum pinjam meminjam di Indonesia, berlaku dua model, yaitu fiducia,
atau suatu pengakuan yang diberikan oleh negara, jika terjadi kemacetan dalam leasing (pinjam meminjam). Dalam hal ini, jika terjadi kemacetan maka bisa dilakukan penyitaan, tetapi bersama-sama dengan aparatur negara. Aparatur negara ini diberi legalitas. Adapaun terhadap benda tidak bergerak, disebut akta hipotek. Dalam hal ini, eksekusi bisa langsung dilakukan, tanpa proses persidangan di pengadilan.

Namun, masalahnya justru di sini. Instrumen hukum yang ada, serta aparat penegak hukumnya - mulai dari jaksa, hakim, kepolisian, hingga advokat - tidak jarang terlibat perselingkuhan dalammengatur keputusan. Jangankan uang sedikit, uang banyak pun bisa hilang, dan ujung-ujunganya hanya capek. Bahkan sudah menjadi  rahasia umum, jikla seseorang ingin mendapatkan kembali motornya yang hilang, dia harus siap kehilangan mobil. Karena ia harus mengeluarkan biaya perkara, sogokan jaksa, hakim dan bayaran pengacaranya: belum lagi bagian untuk polisinya, yang jauh lebih besar. Itulah yang menjadi alasan orang maupun perusahaan untuk menggunakan jasa debt collector agar hak hartanya dengan cepat dan maksimal; sesuatu yang sulit dia dapatkan dengan cepat melalu mekanisme peradilan. Jadi, maraknya jasa ini sebenarnya merupakan dampak dari bobroknya sistem peradilan di negeri ini.

Lalu bagaimana status hukum debt collector itu sendir menurut Islam? Debt collector itu sendiri sebenarnya jasa penagihan hutang. Dari aspek bahwa hutang tersebut merupakan harta client pengguna jasa debt collector, maka jasa yang diberikan oleh seorang debt collector untuk menagih hutang sebenarnya adalah mubah, terlepas apakah hutangnya riba atau tidak. Status debt collector sendir dalam hal ini bisa menjadi 2:
Pertama, wakil dari client-nya, yakni ia mendapatkan wakalah (perwakilan) dari client-nya untuk menagih hutang pihak ketiga kepadanya.
Kedua, orang yang bekerja untuk client-nya, yakni ia diupah untuk menagih piutangnya.

Dengan demikian, status pekerjaan debt collector ini bisa dikategorikan sebagai wakalah bil ujrah. Dilihat dari fakta ini, sebenarnya tidak ada yang salah denganpekerjaan ini. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada laranganmenagih hutang dengan menggunakan jasa mereka. Karena menagih hutang tersebut merupakan hak harta orang yang menghutangi, maka dia boleh menagih langsung menggunakan jasa orang lain atau mengajukannya ke pengadilan. Semuanya berpulang kepada yang mempunyai hak.

Ibnu Hajar al-Asqalani, saat mengomentari Bab al-Wakalah fi Qadha' ad-Dayn (Hukum mewakilkan pembayaran hutang) dengan mengutip pendapat Ibnu Munir, menyatakan, "Fikih dari pennjelasan ini, seolah-olah bagi orang yang berasumsi, bahwa  membayar hutang hukumnya wajib disegerakan, maka mewakilkan pembayaran hutang berarti tidak boleh, karena terjadi penundaan dari pemberi mandat kepada wakilnya. Justru tampak, bahwa itu (mewakilkan pembayaran hutang) boleh dan tindakan itu tidak termasuk menunda-nunda pembayaran" [Ibn hajar al-Asqalani, Fath al-Bari': Syarh Shahih Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, cet 1993, V/251]

Jika membayar hutang yang wajib dan wajib ditunaikan secepatnya saja boleh diwakilkan, maka menagih hutang yang mubah dan boleh ditangguhkan itu tentu lebih boleh lagi diwakilkan.

Adapun masalah yang timbul akibat cara-cara yang digunakan oleh debt collector dalam melaksanakan tugasnya, maka ini tidak boleh dijadikan argumen untuk melarang perbuatan tersebut. yang harus dilarang adalah cara-cara kotor yang digunakan; misalnya menteror, baik secara psikis maupun fisik. Sebab dengan tegas Nabi Saw. telah mengharamkan tindakan tsb:
"Seorang muslim tidak halal meneror muslim yang lain." (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Hanya saja harus dicatat, pelanggaran tersebut bisa terjadi karena masing-masing pihak tidak mengerti hak dan kewajibannya terkait dengan hutang piutang. Bagi seorang debitor, yang mempunyai hutang kepada pihak kreditor, hukum membayar hutang pada waktunya adalah fardhhu 'ain, jika ia mampu membayar. Selain itu, kewajiban tersebut harus ditunaikan secepatnya dan haram ditunda-tunda. Karena itu, menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu disebut oleh Nabi Saw. sebagai zalim:
"Menangguh-nangguhkan pembayaran hutang bagi orang yang kaya adalah tindakan zalim" (HR Bukhari dan Muslim)

Namun, jika tidak mampu, maka dia pun wajib menyampaikan kepada pihak kreditor dan dia pun berhak mengajukan penjadwalan ulang pembayaran utangnya. Pada saat yang sama, pihak kreditor juga wajib menerima dan memberikan kelonggaran kepada debitor tersebut. Dasarnya adalah firman Allah Swt.:
"Jika dia mempunya kesulitan maka berilah kemudahan kepadanya" (QS. al-Baqarah: 280)

Selain itu, juga banyak nash hadits yang mendorong para kreditor untuk bersikap lapang dan memberi kemudahan kepada orang yang mempunyai tanggungan kepadanya, sementara ia mempunyai kesulitan. Dalam situasi seperti ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Pertama, pihak debitor diminta bersumpah demi Allah bahwa dia benar-benar kesulitan.
Kedua, jika debitor tersebut mempunyai harta lain, maka bisa dijual, dan dibayarkan kepada kreditor.
Ketiga, jika ternyata hutangnya lebih besar daripada asetnya maka ia dinyatakan sebagai muflis (pailit), maka ia dikenakan hijr (sanksi larangan melakukan transaksi). Hartanya dihitung, kemudian dibagikan kepada para kreditornya, sesuai dengan prosentase utangnya. Ketiga tindakan ini bisa dilakukian oleh negara melalui mahkamah, sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah 'Umar bin Khaththab kepada Asfa' bin Juhainah [Rawwas Qol'ah Jie, Mausu'ah Fiqh 'Umar bin al-Khaththab, Dar an-Nafais, Beirut, Cet. V, 1997, hlm. 402]

Ini jika yang berhutang tersebut benar-benar tidak mampu bayar dan dalam kesulitan. Namun, jika ternyata orang tersebut mampu juga tidak dalam kesulitan, melainkan hanya menunda-nunda pembayaran, maka terhadap mereka, pihak kreditor bisa menagihnya, baik langsung maupun dengan jasa pihak lain; bisa juga mengajukan ke pengadilan. Sehingga dia akan dipaksa oleh negara untuk membayar hutangnya. Negara pun bisa menjatuhkan sanksi ta'zir kepadanya akibat tindakannya itu. Ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.:
"Orang yang mampu membayar hutang, namun menunda-nnunda, maka dia menghalalkan dirinya dikenai sanksi dan kehormatannya (halal dirampas)" (HR Bukhari)

Namun, tindakan terakhir ini biasanya akan ditempuh oleh kreditor, jjika negara dan aparat penegak hukumnya kredibel. Hal itu hanya ada dalam sistem khilafah, bukan sistem korup seperti sekarang.[]

[sumber: al-Wa'ie, No. 129 Th XI, 1-31 Mei 2011, hal. 27-29]

Posting Komentar untuk "Seputar Debt Collector"