Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

TOT BNPT: Menebar Adu Domba (Strategi Aborsi Gerakan Syariah & Khilafah Di Indonesia)

Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Diskursus tentang deradikalisasi yang diemban oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tidak bisa dilepaskan dari terma terorisme. Karena deradikalisasi sendiri  adalah langkah softh power (lunak) inheren dalam strategi kontra-terorisme. Dalam konteks domestik, peristiwa Bom Bali (2002) menjadi start awal keseriusan pemerintah Indonesia terlibat dalam perang melawan “terorisme” seperti halnya global war on terrorism (GWOT) yang diemban Amerika Serikat.

Di tingkat global bermula dari momentum runtuhnya gedung kembar WTC (9/11/2001), kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373/2001 dan Nomor 1438/2002 tanggal 14 oktober 2002. Inggris dibawah Tony Blair saat itu pertama yang mengeluarkan  Anti Terrorism, Crime and Security Act




, Desember 2001, kemudian menyusul negara dunia lainya semisal Kanada denganCanadian-AntiTerrorism Act (18 Desember 2001),Filipina dengan Anti Terrorism Bill.Di UniEuropa juga lahir konvensi “Council of Europe Convention on the Prevention of Terrorism”(CECPT) dan di Amerika Sendiri lahir USA Patriot Act 2001(Uniting and Strengthening America Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act 2001 ). Tragedi Bom Bali (12 Oktober 2002) mendapatkan respon dunia Internasional dengan dikeluarkannya resolusi DK-PBB Nomor 1438/2002, dan pemerintah RI sendiri kemudian mengeluarkan Perpu Nomor 1/2002 dan Nomor 2/2002  tentang pemberantasan terorisme, yang selanjutnya ditetapkan menjadi  UU No. 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Teroris.

Langkah pemerintah RI berikutnya, berdasarkan amanah UU No.15 Tahun 2003  Polri membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 berdasarkan surat keputusan Kapolri No.30/VI/2003  tertanggal 20 Juni 2003, dimana sejak kelahiranya pemerintah Amerika Serikat banyak mengucurkan bantuan dana dan pelatihan untuk peningkatan capacity building terhadap aparat kepolisian dan Intelijen Indonesia. Dari beberapa dokumen, terungkap dukungan dana mengucur deras ratusan juta dolar dan lebih dari 500 juta Euro untuk proyek long term dari negara Eropa (Australia, Denmark, Belanda, dll) diberikan kepada kepolisian RI (Densus88). Berdasarkan dokumen “Human Right Watch”tentang “Counter Terorism” yang dilakukan AS, pembentukan Densus 88 di Indonesia pada tahun 2003 tersebut didanai AS  sebesar 16 juta dollar, dan pada tahun sebelumnya  Polri telah menerima dana untuk penanganan terorisme sebesar 10 juta dollar. Data ini konkrit, sumbernya dokumen dari Departemen Pertahanan AS tentang counter terorism budget.

Setelah instrument regulasi dan Densus 88 AT  terbentuk akhirnya pemerintah membuat institusi (lembaga) pemerintah yang baru bernama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) berdasarkan  Perpres No.46 Tahun 2010 tertanggal 16 Juli 2010. Sebuah lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan dikordinasikan dibawah Menkopolhukam.

Di sisi lain pemerintah juga membuat MoU dengan negara-negara lain dalam rangka kontra-terorisme, misalkan pemerintah Australia dan Uni Eropa terus membantu Indonesia sejak peristiwa bom Bali (2002). Australia sendiri mengucurkan dana US $ 21.400.000  untuk bantuan selama lima tahun dan bantuan berikutnya terus mengucur untuk kelangsungan sebuah program pendidikan dan pelatihan yang bernama JCLEC (Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation). Pembentukan JCLEC didasarkan pada kesepakatan antara 25 menteri luar negeri di pertemuan puncak Asia Pasifik yang diselenggarakan pada 5 Februari 2005. Ini sekaligus implementasi dari program UN (PBB),global war on terrorism (GWOT) seperti yang diusung oleh Amerika Serikat. Para pejabat tinggi penegak hukum dilatih di JCLEC yang berpusat di Akpol Semarang. Kerja sama berkelanjutan dengan New Scotland Yard, EU, Charles Sturt Univercity dalam skema Grant EU Transnational Crime & Criminal Justice Project. Para perwira diajari kontra terorisme dan transnational crime, hingga saat ini sudah meluluskan lebih dari 1000 orang dan sebagian terserap dalam institusi BNPT.Para instruktur mereka sebagian dari CIA, M16, FBI dan polisi unit kontra-terorisme Australia.

BNPT sebagai hulu lahirnya strategi, kebijakan dan program terkait kontra-terorisme di Indonesia.Baik dalam konteks pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, juga  penyiapan kesiapsiagaan nasional. Dalam hal terjadi tindak pidana tororisme , BNPT menjadi pusat pengendalian krisis.Pusat Pengendalian Krisis ini berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden RI untuk menetapkan kebijakan dan langkah penanganan krisis termasuk pengerahan sumber daya untuk menangulangi aksi terorisme.

Dari Crime Againt Humanity Ke State Terrorism

Penanganan terorisme yang sudah dijalankan oleh pemerintah RI dinilai sebagian orang terlalu over dalam menggunakan pendekatan keamanan (hard power approach). Yang  justru banyak kontraproduktif.
Sampai tahun 2012 penulis mencatat lebih dari 650 orang dipenjarakan, dan 60 orang lebih tewas termasuk 5 orang yang tewas di Bali akhir Maret 2012 dan 2 orang lainya di Tangerang  Selatan hasil dari operasi Densus 88. Setara Institute secara terpisah mengapresiasi keberhasilan pemerintah, dari hasil survei  (2011) yang dilakukan Setara Institute, pemberantasan terorisme merupakan bidang yang menjadi prestasi pemerintah SBY dengan memperoleh 48,8%.Namun ini paradok dengan evaluasi akhir tahun 2010 oleh Komnas HAM; karena diduga kuat Densus 88 melakukan pelanggaran HAM berat, antara lain dari 60-an orang yang tewas selain Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas adalah masuk katagori extra judicial killing (pembunuhan diluar prosedur peradilan).

Sebuah ironi, demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme  banyak negara-negara dunia khususnya Indonesia telah mengorbankan hak-hak asasi manusia.Termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam Non-derogable right, yaitu hak dasar yang tidak boleh dilanggar dan dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Namun faktanya undang-undang antiterorisme telah memberikan legitimasi kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran atas prinsip free and fair trial. Seperti halnya Komnas HAM Indonesia, secara terpisah Amnesti Internasional menyatakan  penggunaan siksaan dalam interogasi orang-orang yang  disangka teroris cenderung meningkat. Dan fakta empirik penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah (khususnya Densus 88) nyaris tanpa koreksi.

Jika awalnya di abad ke-18 terminologi terorisme berkonotasi konsep tentang aksi kekerasan oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Para pelaku terorisme negara (state terrorism) sebagai pemegang kekuasaan untuk mengontrol sistem pikiran  dan perasaan rakyatnya kemudian dalam perkembangnya bergeser diasosiasikan sebagai aksi pembalasan oleh individu dan kelompok terhadap negara dengan motif politik. Dan saat ini seolah kembali teroris lahir dalam wajah kekuasaan dalam bahasa lain  yaituenforcement terror, terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka.Lebih tepatnya  state terrorismkembali lahir dalam ruang global hegemoni state imperialism dengan pihak terjajah, dalam wajah domestik sebagai ekspresi kekalutan politik status quo atas ketidakpuasan individu dan kelompok masyarakat yang “melawan” dengan faktor motif dan stimulan yang beragam fiturnya.

Deradikalisasi Kelanjutan Strategi Hard Power Approach

Dan pendekatan hard measure melalui Densus 88 diatas, belum dianggap bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah ke tindakan ”terorisme”. Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Begitu juga ketika strategi Law Enforcement dirasa masih kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar terorisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption” tapi tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang.

Maka disinilah posisi deradikalisasi menjadi program sekaligus strategi penting bagi BNPT. Deradikasilsasi dibangun atas asumsi; adanya ideologi radikal yang mengeksploitasi faktor komplek yang ada (kemiskinan,keterbelakangan, marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, globalisasi, dsb). Melahirkan spirit perlawanan dan perubahan dengan tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak memberikan efek apapun. Maka Ideologi radikal ditempatkan sebagai akar sesungguhnya dari fenomena terorisme, dalam kerangka pandangan seperti inilah deradikalisasi di implementasikan.

Dari mana dimulai?

                Program deradikalisasi BNPT secara resmi mulai beroperasi di Indonesia, Kamis (11/8/2011). Hari itu di kantor Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat,  ditandatangani MoU antara Kepala BNPT Ansyaad Mbai dengan 8 lembaga/organisasi Islam untuk mempropagandakan proyek ini. Mabes Polri dengan BNPT-nya menjadi think-tank dan Densus 88 sebagai eksekutor di lapangan. BNPT juga menggandeng institusi resmi di republik ini yaitu Kementerian Agama dan MUI Pusat. Anggaran di gelontorkan puluhan milyar rupiah dari APBN khusus untuk program deradikalisasi. Di bulan Maret 2012 DPR melalui komisi III merespon rencana BNPT dengan ajuan anggaran yang totalnya  327 miliar rupiah. BNPT meminta gedung baru senilai Rp 210 miliar dan dapat direalisasikan dalam APBNP 2012.Selain itu BNPT juga mengusulkan pembuatan pusat latihan antiteror BNPT dengan anggaran Rp 3,9 miliar. Belum lagi dana hibah dari AS dan Australia. Disinyalir, dana hibah juga mengucur ke kantong lembaga/ormas Islam atau pimpinannya yang mau bekerjasama. Anehnya, dana dari “sang tuan” ini tak bisa diaudit BPK, DPR, KPK, dan institusi negara lainnya.

Dengan dukungan dana yang cukup besar, MoU dengan berbagai institusi pemeritah dan non pemerintah menjadikan BNPT melenggang dengan berbagai program aksi. Mulai dari workshop, seminar, hingga TOT. Dari support penerbitan buku dan tulisan yang mendukung proyek BNPT hingga membuat film-film yang mengenalkan pluralism agama. Begitu juga pembentukan pusat-pusat kajian radikalisme agama di perguruan tinggi negeri dan swasta.Dari pendekatan personal terhadap key person hingga kooptasi elemen atau ormas tertentu agar inheren dengan semua proyek BNPT dengan target jangka pendek maupun jangka panjang.

Lembaga dan ormas serta person-person yang bisa diajak memuluskan program ini umumnya memiliki latar belakang tradisionalis, moderat, dan liberal dalam memahami Islam. Cara-cara seperti ini persis dengan apa yang tertulis dalam laporan Rand Corp, berjudul “Building Moderate Moslem Network”. Menurut pengakuan ketua BNPT sendiri, kurang lebih sudah ada 25 ormas yang membuat MOU untuk terlibat dalam proyek ini. Bahkan di tahun 2012 BNPT menargetkan 800 ribu masjid terkooptasi dan minimal 2 pengurusnya (ta’mir) harus seirama dengan BNPT, dan 40 ribu pesantren di Indonesia.

Dan substansi atau materi-materi yang disinseminasikan ke masyarakat adalah pemahaman-pemahaman liberal dan moderat. Tidak heran jika dari berbagai agenda yang digelar oleh BNPT bersama patnernya, strategi deradikalisasi yang diemban targetnya adalah penguatan Islam moderat dan liberal. Dan langkah deradikalisasi dianggap sebagai jawaban atas kritik masyarakat  terkait penanganan terorisme yang lebih mengedepankan hard power melalui Densus 88.

Sekurangnya tiga cara yang dianggap sebagai langkah yang bisa mengantisipasi kemunculan ideologi Islamisme  radikal yang di vonis BNPT sebagai akar terorisme. Pertama adalah penguatan basis teologi Islam moderat dengan membangun argumen yang detil tentang bagaimana teologi Islam moderat beroperasi di tingkat praksis. Dan kelompok moderat sendiri mengakui bahwa secara deskripsional sistem teologi moderat yang ada sekarang kurang. BNPT plus pemikirnya optimis dengan anggapan mayoritas umat Islam Indonesia secara teologis adalah moderat. Sekalipun fakta empirisnya  jenis moderatisme mereka bukanlah moderatisme yang terdidik melainkan moderatisme dangkal. Intinya saat ini perlu “narasi tebal” teologi Islam moderat untuk mengubur  Islam radikal atau ideologi radikal. Pada titik inilah beberapa ormas atau oknumnya  bisa berfusi untuk target “politik” yang sama dengan BNPT. Misalkan NU, yang telah mengembangkan teologi moderat melalui rumusan tiga nilai: toleransi (tasamuh), keseimbangan sosial (tawazun), dan moderatisme (I’tidal). Dan merupakan raison d’etre eksistensi NU .

Kedua; untuk mengantisipasi ideologi Islamisme radikal adalah dengan cara pribumisasi Islam atau lebih tepat versi kelompok moderat adalah mengindonesiakan Islam. Yang dimaksud dengan pribumisasi Islam adalah bagaimana Islam didekati, diterjemahkan dan diobjektivikasi dalam konteks keindonesiaan kita, baik di tingkat budaya, sosial, atau politik. Lebih jauh, pribumisasi Islam merupakan satu-satunya cara untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Indonesia tanpa harus tercerabut dari akar sejarah dan budaya. Ketiga; untuk menderadikalisasi pemikiran keagamaan adalah dengan memperkaya pembacaan keagamaan secara akademik.Bahkan perlunya perubahan muatan kurikulum mulai dari sekolah tingkat dasar hingga perguruan tinggi dengan muatan Pluralisme dan liberalisme.

Dan strategi-strategi BNPT ini sejatinya copy paste dari rekomendasi RAND Corporation sebuah lembaga Think Thank dari Amerika Serikat. Lembaga yang dibiayai kebanyakan konglomerat  Yahudi. Hasil risetnya sering dijadikan acuan kebijakan politik pemerintah AS. Salah satu program terpopulernya adalah war on terrorism atau perang melawan teroris. Sebagaimana dalam monografi terbitan RAND Corporation (2007) yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle dengan judul “Building Moderate Muslims Networks“.Hal yang sama juga disampaikan dalam laporan ringkasan (summary) Rand “Deradicalizing Islamict Extremist” (2010) oleh Angel Rabasa, Stacie L.Pettyjhon, Jeremy J.Ghez, Christoper Boucek. Setali tiga uang dengan Rand Corporation, ICG (International Crisis Group) juga ada di balik proyek deradikalisasi. ICG memang fokus pada persoalan teroris di Asia tenggara khususnya Indonesia dan seringkali juga dijadikan acuan dan sumber data analisis oleh RAND Corp. Sebagaimana dalam laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small Groups Big Plans”  Asian Report No 204, 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum dan HAM urgensitas deradikalisasi.

Intinya kelompok yang mengusung perjuangan formalisasi syariah dalam negara dan memiliki cita-cita menegakkan negara Islam atau Khilafah maka dia menjadi target dari proyek deradikalisasi.Karena dua point tersebut menjadi kata kunci katagorisasi seorang individu atau kelompok itu adalah radikal atau fundamentalis. Dan itu artinya juga dipandang dengan asusmi  manipulatif bahwa mereka adalah ancaman potensial bagi status quo atau secara eksplisit juga dinyatakan sebagai ancaman terhadap demokrasi yang saat ini menjadi arus utama.Bahkan secara irrasional membuat tuduhan imajiner bahwa kelompok radikal membahayakan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan kebinekaan). Dan konsepsi inilah yang diadopsi oleh BNPT dan di sosialisasikan dalam berbagai kesempatan dengan obyek masyarakat luas.

Masyarakat luas dilibatkan dalam agenda deradikalisasi ini, karena selain pelaksanan dan penegakkan hukum yang keras masih perlu dukungan masyarakat luas sebagai legitimasi kunci atas setiap tindakan baik dengan hard power atau softh power oleh pemerintah untuk mengaborsi seluruh fenomena terorisme dimana kelompok yang di vonis  Islam radikal menjadi tertuduh sebagai akar dan tempat persemaian terorisme.

Bahkan kedepan sangat mungkin langkah penguatan legal frame (regulasi) akan melahirkan Undang-undang yang lebih represif sebagai kelengkapan BNPT untuk merealisasikan “target politik”nya, seperti yang diusulkan oleh Brigjen (Pol) DR.Petrus Reinhard Golose (BNPT) dalam sebuah seminar nasional Menuju Kerangka Hukum Pemberantasan Terorisme Yang Komprehensif, di Jakarta 2011 untuk revisi UU No 15 Tahun 2003, antara lain; Krimininalisasi penyebaran materi (dengan lingkup penyebaran kebencian,penghasutan, pemuliaan atau pemujaan terhadap terorisme, penyebaran ideologi terorisme, dan propaganda terorisme), yang memberikan dukungan bagi terorisme melalui penggunaan teknologi dan informasi. Atau yang di usulkan Ansyad Mbai (Ketua BNPT) untuk revisi UU No 15 Tahun 2003, diantaranya:”Intelijen dapat dijadikan sebagai alat bukti setelah dilakukan hearing dan setelah melalui analisis intelijen oleh Tim Intelijen Terpadu”;”Untuk melakukan pendalaman dalam pengungkapan jaringan terorisme, intelijen dapat melakukan pemeriksanaan terhadap para teroris dalam masa penangkapan oleh penyidik, masa penahanan oleh penyidik atau dalam masa menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan”. Yang lebih bermasalah lagi seperti usulan:Kriminalisasi beberapa perbuatan yang berkaitan dengan aksi teror seperti: Menyebarkan permusuhan dan kebencian; Menganjurkan untuk melakukan aksi-aksi kekerasan; Menyelenggarakan/mengikuti latihan militer; Mengatasnamakan agama melakukan kekerasan; Glorifying terrorism.

TOT BNPT; Menebar Adu Domba

Mengambil sampel; di akhir bulan April  tepatnya 25-27 April 2012 sebuah acara training  of  trainer (TOT) digelar oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) kerja bareng dengan  Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Acara ini dilakukan dengan melibatkan 45 peserta mewakili beberapa  elemen ormas dan pesantren.Peserta datang dari beberapa daerah khususnya Surabaya, Mojokerto, Lamongan, Madura, Nganjuk dan Ponorogo. Acara berlangsung di Sativa Sanggarloka Hotel, Mojokerto dan semua biaya ditanggung panitia dari transport  dan seluruh akomodasi yang dibutuhkan peserta selama training. Bahkan kemudian peserta berhak mendapatkan sertifikat TOT Anti Radikalisme dan Terorisme setelah dinyatakan lulus oleh panitia.

BNPT di Jawa Timur juga pernah mengadakan  acara serupa dalam tajuk Halqoh Nasional Penangulangan Terorisme  yang dilaksanakan pada tanggal 28 Nopember 2010, bertempat di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya. Tak kurang dari 100 orang dari berbagai Ormas Islam se-Jatim dan pengurus MUI Gerbangkertosusilo, memenuhi undangan acara tersebut. Acara ini merupakan rangkaian acara serupa yang diselenggarakan di 6 kota besar Indonesia, meliputi Jakarta, Medan, Solo, Bandung, Surabaya dan Makasar.Begitu juga TOT BNPT kali ini adalah suatu rangkaian acara yang digagas langsung oleh BNPT melalui koordinasi langsung oleh Presiden Republik Indonesia dan diadakan serentak dibeberapa kota diseluruh Indonesia.

Dibulan Maret sebelum TOT di Jawa Timur, BNPT sudah menggelar agendanya di kota lainya diantaranya  adalah Solo, karena dianggap daerah yang sangat potensial menjadi sarang pembenihan teroris. TOT di mulai hari Kamis 29 Maret hingga Sabtu 31 Maret 2012, dengan menggandeng Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Sumber Daya Manusia (LPPSDM), dengan tajuk "Training Of Trainer (TOT) Anti Radikalisme dan Terorisme, Dalam Rangka Penangkalan Radikalisme dan Terorisme”.Seminar tiga hari di Hotel Sahid Kusuma Solo ini dibuka oleh Deputi Kepala BNPT Mayjen Agus Surya Bakti pada Kamis 29/03 dan ditutup hari Sabtu 31/03 oleh pendiri Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdala.

Dari kajian terhadap  materi-materi yang disampaikan ke peserta training BNPT, intinya proyek deradikalisasi bisa diharapkan untuk mengaborsi dua bentuk radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam pikiran yang disebut fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam tindakan yang disebut dengan terorisme. Dan keterkaitan point pertama dengan kedua berdasarkan menurut  BNPT sangat kuat. Karena point pertama menjadi katalisator lahirnya point kedua.Pemikiran keagamaan yang dipandang radikal kemudian terefleksi dalam sikap;(a) tidak toleran atau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, (b) fanatik, yang merasa selalu benar sendiri dan mengganggap orang lain salah, (c) eksklusif, memisahkan atau membedakan diri dari kebiasaan masyarakat kebanyakan dan (d) revolusioner, cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.   Dalam bahasa Amirsyah Tambunan wakil Sekjen MUI Pusat bidang Hukum dan Litbang mengutip pendapat Muladi Mughni,Lc bahwa ada lima faktor yang menyulut dan memunculkan aksi terorisme dan radikalisme yaitu ekstrimisme (at tatarif al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayyiq), kaku (tanathu’/rigid), dank eras (tasyaddud).Bahkan dalam paparan materinya Amirsyah mengusulkan dan mendukung upaya penguatan elemen Islam moderat dan menggalakkan forum kerukunan umat beragama sebagai jawaban tuntas atas fenomena radikalisme di Indonesia.

Senada dengan Amirsyah,  Dr.Nusron Wahid ketua umum PP GP Ansor dalam sebuah FGD (forum group discussion) dengan tema“Deradikalisasi (Meningkatkan Ketahanan Masyarakat) Melalui Advokasi Komunikasi dan Edukasi di Ruang Publik” hari Kamis 9 Juni 2011 bertempat di Bogor Jawa Barat yang diadakan oleh Kementerian Kominfo berpendapat bahwa masalah radikalisme berawal dari masalah pemahaman, kemiskinan bukan semata-mata menjadi pemicu radikalisme dan justru saat ini orang yang berpendidikan tinggi menjadi sasaran rekrutmen radikalisasi.

Langkah BNPT tidak ubahnya seperti pepatah Jawa “nabok rai nyilih tangan” (nampar muka orang  dengan meminjam tangan). Kenapa demikian, karena dari acara TOT terlihat secara sengaja BNPT dan panitia yang menjadi patnernya menghindari face to face dengan komponen yang  selama ini di asosiasikan radikal dan fundamentalis bahkan yang sudah dalam justifikasi sebagai kelompok teroris versi Amerika. Misalkan; agenda TOT di Mojokerto Jawa Timur hanya melibatkan ormas dan pesantren yang selama ini pro dengan logika-logika BNPT tentang radikalisme dan terorisme. Yang lebih parah kemudian di introdusir oleh pemateri seperti M. Taufiqurrohman peneliti dari Rajaratnam School of International Studies, NTU Singapura dengan sangat gegabah tentang peta jaringan teroris di Indonesia. Memasukkan kelompok JAT dan lainya hanya berdasarkan informasi dan data-data sekunder dari opini dan propaganda media. Terlihat  cenderung menfitnah banyak kelompok dan person. Jadi acara TOT tidak lebih sebagai upaya mengadu domba tokoh-tokoh masyarakat dan key person lainya dengan elemen umat Islam lainya, tanpa di sadari oleh peserta bahwa ada kepentingan untuk penguatan liberalisasi umat Islam di Indonesiaadalah target yang hendak diraih oleh BNPT. Kasus TOT di Solo, BNPT juga menilep MUI Solo yang dianggap radikal dan ini cara-cara yang tidak fair seperti main petak umpet. Namun sikap BNPT seperti pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”, padahal sadar atau tidak langkah deradikalisasi melahirkan kontraksi sosial ditengah umat Islam dan terlihat lebih mudharat dibanding maslahatnya.

                Dan terlihat argumentasi-argumentasi BNPT banyak yang sumir untuk membungkus langkah-langkah pembungkaman gerakan yang menghendaki formalisasi syariah dalam tatanan sosial politik Indonesia. Dan ini cara-cara yang manipulatif.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari paparan diatas, penulis hendak menegaskan beberapa point sebagai kesimpulan;

Pertama; Banyak simptom yang menjelaskan bahwa Amerika Serikat berkepentingan dalam proyek deradikalisasi. Karena proyek deradikalisasi adalah topeng yang bisa menyembunyikan kepentingan busuk dunia Barat (Amerika Serikat, cs) untuk melanggengkan imperialismenya. Deradikalisasi dianggap sebagai cara efektif jangka panjang dan soft untuk mewujudkan tatanan dunia Islam yang ramah dan mengakomodir ideologi Kapitalis-Sekuler yang mereka jajakan. Dan ini klop dengan sistem sekuler yang dijaga siang dan malam keberlangsungannya oleh para penguasa yang mengekor kepada kepentingan Barat, dengan mendapat imbalan pujian dan kemaslahatan sesaat. Dan kepentingan politik global ini disembunyikan oleh BNPT, justru sebaliknya bersikap apologis menjadikan umat Islam khususnya kelompok Islamis sebagai tertuduh atas munculnya  distabilitas keamanan baik dalam kontek global maupun domestic dengan memberikan label “teroris”.

Kedua; BNPT menggunakan kacamata kuda (subyektif tendensius), radikalisme yang divonis sebagai akar terorisme secara dominan dipandang sebagai gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang. Sementara BNPT abai terhadap realitas sebagai sebuah gejala sosial dari meluasnya sikap apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidak adilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat. Dan sikon tersebut korelatif dengan peran imperialisme global yang dikomandani Amerika Serikat terhadap negeri Indonesia.Justru faktor komplek termasuk didalamnya kedzaliman global oleh dunia Barat terhadap dunia Islam menjadi akar masalah diabaikan dan tidak mendapatkan porsi solusi secara proporsional.

Ketiga; pemerintah melalui BNPT justru membuat langkah deradikalisasi secara massif di implementasikan dengan kosentrasi pada perubahan orentasi dan tafsiran dalam keberagamaan seseorang agar lebih moderat (wasatiyyah), toleran dan liberal.Ini sesungguhnya bukan solusi, karena akan menciptakan polarisasi dalam kehidupan masyarakat khususnya umat Islam. Praktek devide et impera (strategi belah bambu) akan menjadi pemicu permanen lahirnya friksi ditubuh umat Islam. Disamping umat akan terpecah belah (berhadap-hadapan) dengan katagorisasi radikal-moderat, fundamentalis-liberal, Islam ekstrim-Islam rahmatan, Islam garis keras-Islam toleran dan istilah lainya yang tidak ada dasar pijakannya dalam dienul Islam.

Keempat; Deradikalisasi jelas berbahaya karena sebagai langkah sistemik yang bisa menyumbat langkah kebangkitan Islam, menjadikan umat jauh dari pemahaman dan sikap ber-Islam yang kaffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Akhirnya akan melahirkan bahaya (dzarar) lebih besar, langgengnya imperialisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas, dan perubahan iklim. Dan menjadi musibah bagi umat Islam dengan tegaknya tatanan sistem sekuler dan demokrasinya serta tidak ditegakkannya sistem Islam. 

Oleh karena itu, langkah BNPT perlu dibuka dihadapan publik. Perang opini dan pemikiran juga harus dilawan dengan pemikiran. Kiranya perlu langkah-langkah berikut secara konsisten:  

Pertama; Ulama, ormas Islam, Tokoh Masyarakat, akademisi, kaum intelektual yang masih hanif akidahnya dan semua aktifis gerakan Islam harus kontinyu dan simultan melakukan konter proyek deradikalisasi dengan berbagai uslub dan wasilah yang memungkinkan harus hadir ditengah-tengah umat. Dengan pijakan hujah yang kokoh berdasarkan al Qur’an dan as Sunnah untuk meraih pikiran dan perasaan umat agar sikap wala’ wal barro’nya atas setiap jenis kekufuran baik yang terang maupun samar mereka menyikapinya dengan jelas tegas sesuai tuntunan agamanya.Edukasi terkait pemahaman Islam yang benar harus diperankan dengan benar. Ulama’ berperan dalam hal ini. Tentunya ulama’ akhirat bukan ulama’ yang menjual agamanya untuk kepentingan duniawi.

Kedua;  Seluruh komponen umat (individu, kelompok, dan lainnya) harus ikut berkontribusi dalam shiroul fikry (perang pemikiran) danKasyful khuttot (menyingkap makar musuh-musuh Islam) karena pada hakekatnya Islam tidak akan pernah dipisahkan dari umatnya. Hidup dan mati umat ini hanya untuk Islam sebagai konsekuensi syahadat mereka.Seraya optimis, orang-orang jahat membuat makar atas umat dan Islam tapi Allah swt adalah sebaik-baik pembalas makar.

Ketika orang-orang kafir (asing) melakukan makar untuk menghadang kebangkitan umat. Niscaya makar itu akan gagal. Kerugianlah yang mereka dapatkan. Bagitu pula dengan penguasa anteknya akan mendapatkan kehinaan.

وَقَدْ مَكَرُوا مَكْرَهُمْ وَعِنْدَ اللَّهِ مَكْرُهُمْ وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ الْجِبَالُ      
        
Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya.(Ibrahim:46)

وَمَكَرُوا مَكْرًا وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ

Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.(An-Naml:50)

Ketika asing ingin memadamkan cahaya Islam yang sudah diinginkan umat. Maka cahaya itu tidak akan padam. Sebaliknya mereka akan mendapatkan kehinaan dan ideologi yang mereka perjuangakan akan digantikan dengan Islam. Itulah janji Allah.

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai (at-taubah 32).

Wallahu a’lam bisshawwab.

Posting Komentar untuk "TOT BNPT: Menebar Adu Domba (Strategi Aborsi Gerakan Syariah & Khilafah Di Indonesia)"