Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Hamid Amali (1987-2012) : Pejuang Khilafah yang Pantang Menyerah

Mas Hamid Amali
Mas Hamid Amali

Beliau adalah guru pertama penulis yang memperkenalkan Islam secara kaffah, menjadikan Islam sebagai qoidah fikriyah dan qiyadah fikriyah. Bukan berarti sebelumnya penulis tidak mengenal Islam, tetapi beliau lah yang mengenalkan bahwa Islam itu lengkap meliputi semua bidang kehidupan. Islam harus menjadi qoidah fikriyah (landasan berfikir) dalam artian ia menjadi dasar kita dalam berfikir, menjadi tolak ukur dalam memandang pemikiran lain, apa pun masalahnya selesaikanlah dengan perspektif Islam. Islam juga harus menjadi qiyadah fikriyah (kepemimpinan berfikir) dalam artian ia adalah ide atau konsep yang selalu dengannya kita bersikap/beramal serta kita emban kepada yang lain. Sederhananya, Islamlah yang menuntun aktivitas kita dan yang kita sebarluaskan agar diamalkan secara praktis oleh yang lain juga.


Sebelumnya, di pondok pesantren, penulis diajarkan berbagai ilmu keislaman, dari thoharoh, nahwu shorof, tajwid, fiqh nikah, jual beli hingga masalah pencurian dan bughot (pemberontak). Akan tetapi, yang mampu diamalkan hanya yang menyangkut aspek individu semata. Waktu itu, belum muncul 'greget' untuk mengaplikasikan/menyampaikan konsep-konsep Islam dalam tataran muamalah dan uqubat. Beliaulah salah satu guru yang ikut mengubah penulis. 
[terima kasih mas Hamid... engkaulah yang mengajariku bagaimana Islam seharusnya dipelajari, ia seharusnya dipelajari seperti halnya seorang ibu membaca resep memasak, ya... untuk diaplikasikan... bukan dipelajari sebagaimana kita membaca buku fiksi/komik/novel, yang dibaca hanya untuk memuaskan akal semata]

Hamid Amali, Nama yang sudah tidak asing lagi di telinga para pejuang khilafah di Yogyakarta. Wajahnya tampan, semangat  untuk memperjuangkan khilafah pun tak pernah luntur, retorikanya membakar semangat. Dia salah satu sosok pemuda yang mempersembahkan usia mudanya dalam perjuangan, hingga meregang nyawa.

Semangat Islam mendarah daging dalam dirinya, dan menularkan pada masyarakat. Tampak dari aktifitasnya yang selalu aktif mengisi training di Kota Yogya. Walau bawaannya humoris, namun kata-katanya mengandung makna. Retorikanya menyentuh membuat dia sering diundang menjadi moderator dalam seminar besar.

Amanah-amanah dakwah yang diberikan, selalu dikerjakannya hingga tuntas dan hasilnya juga memuaskan. Salah satunya, dia sebagai koordinator pembina KKAI (Kelompok Kajian Agama Islam) di STEI Hamfara Yogya sejak tahun 2007 hingga melepaskan nafas terakhirnya.

Pada 2010-2011, dia membuat gebrakan sekaligus membuka Lembaga Dakwah Kampus DIY dan hasilnya kader dakwah dari tiap kampus semakin bertambah.

Dia juga perancang model kajian mahasiswa agar berkepribadian Islam. Proses kajian ini dirancangnya selama 2 jam dalam seminggu yang berlaku pada semua angkatan. Dari sini dia mencetak banyak pejuang-pejuang khilafah yang tangguh, semangat, berkualitas hal ini jelas dari pernyataan salah seorang binaannya.

“Aku menjadi penulis yang produktif, semangat mengisi training nasional salah satunya karena Mas Hamid, dia yang selalu memompa semangat juang diriku” kata Munafar La Ode yang sekarang sebagai penulis muda dan Trainer  Nasional.

Titok Priastomo, salah seorang dosen Hamfara yang juga pejuang khilafah menyatakan  anak-anak Hamfara boleh saja kehilangan Hamid, tapi Hamfara tidak boleh kehilangan rijalud dakwah, yang punya rasa tanggung jawab tinggi terhadap dakwah ini, yang punya pengorbanan tinggi terhadap agama, yang memberikan porsi besar pikiran, perhatian, waktu, tenaga dan dana untuk dakwah.

“Gak punya motor? Gak punya banyak uang? Banyak tugas?? Ah, dia juga tidak punya motor, tidak punya banyak uang, punya banyak masalah. Dia bisa seperti itu, kenapa kita tidak?” ungkapnya di dinding facebook Hamid Amali yang seolah menjadi forum berbela sungkawa teman-teman seperjuangan.

Pantang Menyerah

Hamid lahir di Kertosari, Lampung Selatan, 19 Maret 1987.  Dia sekolah sejak SD hingga SMA di kampung halamannya. Setamat SMA barulah dia mondok di Pondok Pesantren Agrobisnis Abdurrahman bin ‘Auf (AbA) Klaten,  Delanggu , Jawa Tengah. Kemudian meneruskan kuliah ke STEI Hamfara, Yogyakarta.

Menurut Rohandi, teman sekelasnya sejak SD hingga kuliah di Hamfara, Hamid mengenal ide-ide Hizbut Tahrir sejak duduk di kelas 1 SMA Assalam Tanjungsari di bawah bimbingan Ustadzah Siti Rohimah dalam mata pelajaran Akidah Akhlaq.

Hamid benar-benar merasa tercerahkan ketika Siti Rohimah membahas akidah dengan  memberikan dan menjawab secara rasional tiga pertanyaan: Hidup di dunia ini untuk apa? Asalnya dari mana? Setelah kehidupan ini mau ke mana?  “Saya merasa tercerahkan,” ungkapnya pada Rohandi saat itu.

Di lain kesempatan Hamid pun merenung setelah mendapatkan materi tentang problematika umat saat mengikuti Kerohanian Islam (Rohis) yang dibina oleh aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Lampung. Kemudian berkata pada Rohandi:  “Kalau dipikir-pikir ternyata demokrasi itu memang benar-benar rusak ya?!”

Sejak saat itu, pembicaraannya Hamid sudah seperti seorang negarawan saja. Yang dipikirkannya adalah nasib umat. Maka Hamid begitu juga Rohandi, meskipun saat itu masih pakai seragam putih abu-abu membulatkan tekad untuk menggantikan demokrasi dengan khilafah.

Sehingga ketika mendengar kabar bahwa Juru Bicara HTI akan datang ke Bandar Lampung dalam suatu acara, Hamid yang saat tidak punya ongkos pun berusaha keras agar bisa hadir. Maka, ia langsung bekerja mengangkut batu untuk meratakan jalan yang dikerjakan kurang lebih selama satu hari bersama kakak dan sahabatnya. “Dari uang bekerja tersebut akhirnya Hamid dan saya dapat menghadiri acara  tersebut,” ungkap Rohandi.


Sejak saat itu, tepatnya pada 2004 ketika duduk di bangku kelas 2 SMA, dia dan sahabatnya itu memutuskan untuk mengkaji lebih dalam ide-ide Hizbut Tahrir dalam pembinaan intensif.

Jiwa kepemimpinan Hamid muncul, dalam pembinaan dia selalu aktif bertanya dan memberikan pendapat. Dalam berbagai kegiatan dia  menjadi ketua. Dalam berbagai acara, dirinya menjadi MC atau pun host.

Keaktifannya tidak hilang, saat dirinya merantau  untuk nyantri di Klaten hingga kuliah di Yogyakarta. “Dari serangkaian akademik yang dijalani tampaknya ciri khas Hamid tidak pernah hilang, yakni menjadi ketua dalam berbagai kegiatan, MC dan host,” beber Rohandi.

Pada Mei 2007, dia dan sahabatnya memutuskan untuk menjadi anggota HTI Klaten. Ketika HTI menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional 2007 di Jakarta, Hamid sangat senang. Ia dan sahabatnya berjuang keras mencari uang agar punya ongkos.

Maka mereka berjualan ikat pinggang seragam sekolah. “Berdua keliling sekolah-sekolah di Klaten menggunakan sepeda. Bahkan  kami pernah ‘diminta keluar’ oleh seorang kepala sekolah hanya gara-gara menawarkan ikat pinggang,” kenang Rohandi.

Entah di sekolah yang keberapa belas, akhirnya ada satu sekolah yang mau membeli ikat pinggang. Dapatlah keuntungan Rp 160.000. Sehingga keduanya dapat membeli tiket dan urunan ongkos ke Jakarta.

Hijrah ke Yogya, karakter kepemimpinan Hamid semakin kuat. Dia selalu menjadi motor penggerak dakwah di kampus STEI Hamfara, antara lain menjadi penanggung jawab asrama angkatan 2008, penanggung jawab Kajian Kelompok Agama Islam (KKAI), penanggung jawab dakwah sektor STEI Hamfara. Bahkan menjadi bagian dari pimpinan penanggung jawab kampus-kampus di Provinsi DIY.

Hamid tak pernah mengeluh dalam perjuangan. Beberapa bulan lalu, dokter rumah sakit di Yogya mendiagnosa dirinya menderita TBC. “Banyak obat-obatan yang diberikan ke dia, namun obat yang mengandung zak kimia dia tidak mau minum, sebab khawatir mengandung unsur keharaman seperti alkohol. Akhirnya selama lebih 3 bulan dia minum madu asli,” ungkap Munafar.

Walau dalam kondisi lemas, badan bergetar, dia tetap mengikuti kajian intensif. Ditemukan juga walau dalam keadaan sakit tetap juga ikut koordinasi dakwah kampus. “Lebih baik saya mati di medan dakwah daripada mati di atas tempat tidur,” ujarnya seperti yang didengar Munafar, ketika teman-temannya meminta yang bersangkutan istirahat.

Karena kesehatannya semakin memburuk, dia pun diboyong pulang ke Lampung pada Kamis, 1 November 2012. Sepekan kemudian  ia melepaskan nafas terakhirnya pada pukul 05.30 di RS Lampung, 7 November 2012.

Beberapa jam sebelum kembali ke Rahmatullah, dia meminta kitab Hizbut Tahrir – yang dikaji secara rutin sepekan sekali dengan seorang pembina— karena hari itu jadwal kajiannya. Ia pun diingatkan bahwa dirinya sedang sakit dan tidak memungkinkan ikut kajian.  “Kemudian, Mas Hamid berteriak dengan semangat walau badannya lemas dengan kata yang dia rindukan yaitu “khilafah” sambil mengangkat kepal tangannya,” ungkap Munafar.

Subhanallah. Semoga ia dimasukkan dalam surga-Nya. Aamiin  yaa Robbal 'alamiin. [www.mediiaumat.com] ...semoga kita bisa meneladaninya....

Posting Komentar untuk "Hamid Amali (1987-2012) : Pejuang Khilafah yang Pantang Menyerah"