Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Haramkah Mematok Upah Minimum Pekerja?


Soal:
Beratnya beban hidup mendorong para pekerja menuntut kenaikah upah minimum kepada perusahaan tempatnya bekerja dan pemerintah. Desakan ini mendorong pemerintah menaikkan standar upah minimum tersebut. Bolehkah, pemerintah menetapkan standar upah minimum tersebut?

Jawab:
Pertama: harus dipahami, bahwa relasi pekerja dengan pengusaha, atau buruh dengan majikan, adalah relasi yang didasarkan pada akad ijârah, yaitu akad terhadap suatu jasa (manfa’at) yang diberikan oleh pekerja atau buruh, dengan kompensasi (‘iwadh) yang diberikan oleh pengusaha atau majikan. Akad ini didefinisikan oleh para fuqaha’ dengan:

اْلإِجَارَة هِيَ عَقْدٌ عَلَى الْمَنْفَعَة بِعِوَضٍ
Akad ijarah adalah akad terhadap jasa dengan suatu kompensasi.[1]


Karena itu, akad ini mengikat kedua belah pihak, baik terhadap kriteria jasa yang diberikan oleh pekerja atau buruh maupun besar, kecil, kuantitas, kualitas dan batasan waktunya. Karena itu, tangan mereka disebut yad[un] amânah. Akad ini juga mengikat pengusaha atau majikan (musta’jîr) untuk memberikan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu upah atau kompensasi (‘iwadh), yang menjadi hak buruh atau pekerja (ajîr) tersebut. Tidak lebih.

Kedua: ketentuan upah (taqdîr al-ujrah) harus dikembalikan pada jasa (manfa’at) yang diberikan. Dalam konteks akad ijârah secara umum, sebenarnya ada tiga kategori jasa: (1) Jasa benda (manâfi’ al-a’yân), seperti jasa rumah, mobil atau barang yang disewakan; (2) Jasa orang (manâfi’ asy-syakhs), seperti jasa buruh rumah tangga, tukang kebun, dan sebagainya; (3) Jasa kerja/profesi (manâfi’ al-‘amal), seperti jasa dokter, arsitek bangunan, dan sebagainya. Ketiga kategori jasa inilah yang menjadi obyek akad (ma’qûd ‘alayh) dan upah tertentu (ajr[un] musammâ) yang telah disepakati.[2]

Oleh karena itu, seharusnya yang menjadi patokan upah (taqdîr al-ujrah) adalah jasa yang diberikan oleh ketiganya, yaitu jasa benda (manâfi’ al-a’yân), jasa orang (manâfi’ asy-syakhs) dan jasa kerja/profesi (manâfi’ al-‘amal); bukan nilai atau harga barang yang dihasilkan; bukan pula kebutuhan pekerja atau buruh (ajîr). Karena itu, tinggi dan rendahnya living cost yang harus ditanggung pekerja atau buruh (ajîr) tidak masuk dalam kriteria patokan upah tersebut.[3]

Ketiga: jika terjadi perselisihan antara pekerja atau buruh (ajîr) dengan pengusaha atau majikan (musta’jîr) dalam masalah upah (ujrah), maka solusinya bisa dikembalikan pada akad dan upah yang telah disepakati (ajr[un] musammâ). Namun, jika upah tersebut belum dinyatakan dalam akad, maka ada dua kemungkinan: Pertama, jika upahnya sudah diketahui (lumrahnya segitu), maka bisa diberikan sebagaimana lumrahnya, dan dalam hal ini bisa disebut ajr[un] musammâ. Kedua, jika upahnya belum ketahui (belum diketahui lumrahnya seberapa), maka kepadanya berlaku upah sapadan (ajr[un] mitsli).[4]

Adapun ketentuan upah sapadan (ajr[un] mitsli) ini bisa merujuk pada: Pertama, upah untuk pekerjaan dan pekerja yang sepadan (mitsl al-‘amal wa al-‘âmil); Kedua, upah untuk pekerja saja (mitsl al-‘âmil). Hanya saja, siapa yang memutuskan? Di sini dibutuhkan ahli (ahl al-khibrah), tentu dengan tetap memperhatikan individu pekerja atau buruh (syakhs al-ajîr) tersebut. Ahli tersebut dipilih berdasarkan kesepakatan pengusaha atau majikan (musta’jîr) dan pekerja atau buruh (ajîr). Jika mereka tidak sepakat, baru negara Khilafah akan menentukan siapa ahlinya.[5]

Meski demikian, ahli (ahl al-khibrah) yang ditunjuk, baik oleh majikan maupun buruh harus memperhatikan tiga hal. Pertama: Jika akad ijârah tersebut dinyatakan terhadap jasa (benda), maka ahli tersebut harus memperhatikan sesuatu yang jasanya sepadan dengan jasa (benda) yang diakadkan oleh para pihak tersebut. Kedua: Jika akad ijârah tersebut dinyatakan terhadap pekerjaan, maka ahli tersebut harus memperhatikan orang yang sepadan dengan pekerja atau buruh (ajîr) yang melakukan pekerjaan tersebut. Dengan kata lain, ahli tersebut harus memperhatikan pekerjaan dan pekerjanya (al-‘amal wa al-‘âmil) sekaligus. Ketiga: Ahli tersebut juga harus memperhatikan waktu dan tempat akad ijârah-nya, karena upah itu biasanya berbeda mengikuti perbedaan jasa, pekerjaan, waktu dan tempatnya.[6]

Inilah ketentuan hukum Islam dalam menyelesaikan perselisihan pekerja atau buruh dengan pengusaha dan majikan. Adapun cara yang ditempuh oleh pemerintah dengan menetapkan upah minimum pekerja atau upah minimum regional, sebenarnya merupakan cara yang bertentangan dengan hukum syariah. Bahkan, ini haram dilakukan. Ini dianalogikan pada keharaman negara menetapkan harga.[7] Nabi saw. bersabda:

إِنَّ الله هُوَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ، الْبَاسِطُ الرَّازِقُ، الْمُسَعِّرُ، وَإِنيِّ لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلاَ يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ  

Allah SWT adalah Zat Yang Maha Pencipta, Maha Penggenggam urusan, Maha Melapangkan, Maha Pemberi rezei, Yang Berhak Menetapkan harga. Aku benar-benar ingin menghadap Allah kelak, sementara tidak seorang pun menuntutku karena kezaliman yang aku lakukan kepada dia, baik dalam masalah darah maupun harta (HR Ahmad).

Nabi saw. juga bersabda:

مَنْ دَخَلَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ، فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa saja yang mencampuri urusan harga kaum Muslim agar bisa menaikannya sehingga membebani mereka, maka menjadi kewajiban Allah untuk mendudukannya dengan tulang dari api kelak pada Hari Hiamat (HR Ahmad)

Kedua hadis ini dengan tegas menyatakan keharaman mematok harga, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun yang lain, ataupun penguasa dan pengusaha. Hal yang sama bisa berlaku pada kasus penetapan upah yang dilakukan oleh penguasa, ataupun penguasa dan buruh, dan atau penguasa dan pengusaha. Tujuannya untuk menaikkan harga atau upah sehingga membebani pihak lain.[8]

Dengan kata lain, berapa pun upah (ujrah) tersebut dikembalikan pada faktor supply and demand, sebagaimana harga; tidak dikembalikan pada salah satu pihak, atau negara. Jika upah ini merupakan kesepakatan kedua pihak, maka tugas negara adalah memastikan tidak ada salah satu pihak yang dizalimi oleh yang lain. Jika itu terjadi, maka negara harus turun tangan menghilangkan kezaliman tersebut. Jika negara lalai, maka tugas Mahkamah Mazhalim untuk menghentikan kelalaian yang sekaligus merupakan kezaliman negara.

Mengenai jaminan kesehatan, baik bagi buruh atau pekerja maupun keluarganya, pesangon ketika di-PHK, dana pensiun bagi buruh atau pekerja yang pensiun, jaminan pendidikan bagi putra-putri mereka, dan sebagainya, maka semuanya ini tidak dibahas oleh Islam ketika menyelesaikan masalah ijârah ini. 

Beban tersebut tidak menjadi tanggung jawab pengusaha atau majikan, tetapi merupakan kewajiban negara. Jaminan ini juga tidak hanya diberikan kepada pekerja atau buruh saja, tetapi diberikan kepada setiap warga negara. Negara wajib menjamin kesehatan dan pendidikan setiap warga negaranyaKetika tanggung jawab ini tidak dijalankan oleh negara, sebaliknya oleh negara dibebankan kepada pengusaha atau majikan, maka kebijakan ini menyebabkan terjadinya kenaikan harga, sekaligus rasionalisasi jumlah pekerja atau buruh. 

Dampak dari kenaikan harga tidak hanya akan ditanggung oleh pekerja atau buruh di perusahaan tersebut, tetapi oleh siapapun yang membeli produk dari perusahaan tersebut. Demikian halnya dampak rasionalisasi tersebut menyebabkan banyak pekerja atau buruh kehilangan mata pencaharian mereka.

Mereka yang tetap dipertahankan bekerja di perusahaan tersebut akan dibebani oleh perusahaannya dengan beban dua atau bahkan tiga kali lipat dari beban biasanya, sebagai konsekuensi dari kebijakan rasionalisasi pekerja tersebut.
Jadi, inilah harga yang harus dibayar oleh seluruh warga negara akibat kezaliman negara dan para penguasanya. 

Mestinya, yang harus dikoreksi adalah penguasa dan negaranya, bukan menimpakan masalah tersebut kepada yang lain, sementara pihak yang lebih bertanggung jawab, yaitu negara, justru dibiarkan tidak melakukan apa-apa.
WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:
[1] Lihat: Al-‘Allâmah as-Syaikh Taqiy ad-Dîn an-Nabhâni, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. V, Muktamadah, 2003, II/316.
[2] Al-‘Allâmah asy-Syaikh Taqiy ad-Dîn an-Nabhâni, Ibid, II/319.
[3] Ibid, II/319.
[4] Ibid, II/321.
[5] Ibid, II/321.
[6] Ibid, II/321.
[7] Ibid, II/326.
[8] Lihat: “Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Hawla Tas’îr as-Sila’,” 28 Dzulhijjah 1432 H/24 Nopember 2011 M. http://www.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3283/

2 komentar untuk "Haramkah Mematok Upah Minimum Pekerja?"

  1. konon..., Cost of Product untuk buruh adalah 10% sedang "pajak bertumpuk" sampai 35% belum pungutan lain.

    Pikir aja jika "35%" ini 1/3-nya aja diberikan pada buruh dan 1/3-nya lg untuk pengusaha... maka akan hasilkan kesejahteraan dan iklim investasi yg bagus.

    bahkan ada yg katakan pendapatan perorangan yg besar sekali (padahal itu jerih payahnya) "dipajakin" 40%. ck ck ck...

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, sebagaiman yang saya sampaikan di sini http://putra-dayeuhluhur.blogspot.com/2012/11/telaah-islami-terhadap-kisruh-umr.html

      Seandainya biaya siluman akibat korupsi, biaya administrasi/birokrasi yang mencapai 20-30% diberikan 10%nya untuk porsi gaji karyawan. Maka dapat dipastikan mereka dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Belum lagi 10% dari kebutuhan mereka, berupa pendidikan dan kesehatan, telah ditanggung negara

      Hapus