Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

AkankahThe Next Khilafah Memunculkan Kembali Perbudakan?*


Oleh: Ust Hanif Alfasiry**

Ada beberapa tulisan dan tanya-jawab di beberapa forum online yang membicarakan tema ini.[1] Ada pemikir yang amat membenci sifat ekspansif negara Islam ini, ada pula pemikir muslim yang keukeuh[2] berpegang pada pendapatnya bahwa memiliki budak adalah sesuatu yang telah dihalalkan oleh sang Pencipta Manusia yang Mahabijaksana. Bahkan sayup-sayup ada juga di antara aktivisIslam yang memiliki motivasi berjihad kelak di bawah panji Khilafah untuk mendapatkan budak wanita berwajah cantik, tinggi semampai, berambut pirang atau bermata biru kelak saat menaklukkan Paman Sam[3]wilayah hispanic[4], ras aria[5], atau daerah ‘menggiurkan’ lainnya.

Yang kami maksud dengan The Next Khilafah adalah sebuah negara Islam dengan sistem khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang memang dikabarkan oleh Sayyidina Muhammad saw akan tegak kembali setelah pemerintahan diktator bertumbangan.[6] Banyak pemikir yang mengatakan bahwa tegaknya kembali khilafah adalah sebuah kemustahilan, ada pula yang dengan sengit menentang tegaknya khilafah. Akan tetapi, banyaknya diskusi yang memprediksi aneka hal yang mungkin terjadi pasca tegaknya The Next Khilafah–termasuk tema perbudakan-, menunjukkan secara implisit bahwa alam pikiran para pemikir tadi sudah mulai mengakui bahwa tegaknya kembali khilafah adalah sesuatu yang inevitable (tidak dapat dielakkan) lagi. Tentu dengan syarat, para pejuangnya benar-benar serius memperjuangkannya dengan kecepatan-sebar yang terus bertambah. 

Pada tulisan ini kami akan sedikit membahas beberapa hal terkait tema ini, yakni peperangan dan aspeknya berupa tawanan perang dalam aturan Islam, serta status budak dan sabaayaa yang pernah muncul dalam beberapa peperangan di masa baginda Rosulullah saw.

Perang dan Tawanan Perang

Perang yang kami maksud di sini adalah jihad fisik yang sebenarnya di medan perang, yang merupakan aktivitas teragung dalam ajaran Islam.[7] Jihad ekspansif kelak akan menjadi agenda rutin negara Khilafah.[8] The holy war (perang suci) inilah yang akan menjadi pintu terwujudnya aneka bisyaroh (berita gembira) baginda RasuluLlah saw seperti penaklukan kota Roma [9], penaklukan bangsa penganut Yahudi[10], serta berkuasanya Islam atas setiap inchi permukaan bumi.[12]

Pada umumnya, dalam sebuah peperangan akan ada pihak yang menang dan ada pula yang kalah. Allahpun mempersilahkankepada Rosul-Nya untuk memiliki tawanan perang. Allah SWT berfirman:

فَإِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.(TQS. Muhammad : 4)

Yang dimaksud dengan kata atskhona pada frase atskhon-tumuu-hum di atas adalah melakukan pembunuhan dan menimbulkan ketakutan yang amat sangat. Ayat yang terdapat dalam surat al-Qital ini[12] dengan jelas memperbolehkan negara Khilafah untuk memiliki tawanan dengan syarat sudah melakukan atskhona pada pihak musuh. Allah SWT –pada kesempatan berikutnya- pernah menegur RasuluLlah saw karena beliau melakukan khilaf al-aula (menyelisihi perbuatan yang lebih utama), yakni memiliki tawanan perang sebelum melakukan atskhona.[13] Allah menegur beliau dengan kalimat:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٦٧) لَوْلا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٦٨)
Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kalian ditimpa azab[14] yang besar karena tebusan yang kamu ambil. (TQS. al-Anfal: 67-68)

Pada ayat ini Allah SWT kembali menggunakan kata yutskhinu (yang merupakan bentuk mudlori’ dari kata atskhona) untuk menegaskan kepada RasuluLlah bahwa pada kondisi ini yang paling utama adalah memilih untuk tidak memiliki tawanan perang sebelum melakukan pembunuhan dan menimbulkan ketakutan yang amat sangat pada pihak musuh.

Tawanan Perang, Budak, dan Sabaya

Dalam bahasa Arab, budak disebut dengan beberapa istilah, salah atunya adalah dengan kata roqiiq (jamak: riqooq). Sedangkan tawanan perang disebut dengan kata asiir (jamak: asroo); kata ini hanya mereka gunakan untuk menyebut para pria dewasa yang tertawan, karena normalnya perang memang hanya diikuti oleh para pria dewasa saja.Dan kedua kata tadi berbeda maknanya dengan kata sabiy (jamak: sabaayaa), yakni para wanita dan anak-anak pihak musuh yang ikut berperang dalam medan pertempuran. Berikut ini kami akan bedakan ketiga kelompok tersebut dalam bentuk perbedaan perlakuan terhadap masing-masingnya.

Budak. Pada peradaban non-Islam, ada banyak kejadian yang bisa memunculkan perbudakan baru, seperti berhutang tapi tidak bisa melunasi, kalah dalam peperangan, ditemukan di suatu tempat lalu dijual (seperti kisah remaja Nabi Yusuf as), dan lain-lain.Pada peradaban non-Islam ini, budak bisa laki-laki juga wanita; mereka mengabdi pada majikannya sesuai perintah sang majikan tanpa mendapatkan upah[15], mereka bisa diperjual-belikan juga diwariskan.

Sedangkan dalam Islam, ada tiga hal yang harus diperhatikan mengenai perbudakan: pertama, Islam sama sekali tidak membuka pintu yang bisa memunculkan perbudakan baru[16]; kedua, untuk para budak yang sudah ada –yang sudah terlanjur terbentuk oleh peradaban non-Islam-, maka Islam mengaturnya dengan beberapa aturan; ketiga, Islam membuat banyak aturan yang secara bertahap membuat para budak yang sudah exist itu menjadi merdeka. Sehingga tidak heran, hanya dalam waktu relatif singkat Islam mampu mengikis perbudakan yang sudah terbentuk selama ribuan tahun.[17]

Tawanan perang.Sebelum datangnya Islam, peperangan antar-bangsa sudah biasa terjadi. Beberapa konvensi[18] terkait peperangan dan dampaknya pun sudah terbentuk selama ratusan tahun. Salah satu konvensi tersebut adalah bahwa pasukan perang hanyalah berisi para laki-laki dewasa. Sehingga saat ada di antara pasukan musuh yang tertawan, maka ada istilah khusus untuk mereka yakni asiir. Dalam konvensi perang mereka, asiir bisa dibunuh juga bisa dijadikan budak.
Sedangkan Islam hanya memberikan dua pilihan kepada Khalifah terkait asiir yakni dibebaskan begitu saja, atau dibebaskan dengan tebusan; sebagaimana disebutkan dalam Surat Muhammad ayat 4. Islam melarang melakukan hal-hal lain terhadap para asiir, seperti membunuh mereka atau menjadikan mereka sebagai budak.

Sabiy. Istilah ini disematkan oleh bangsa-bangsa pada masa itu khusus untuk para wanita dewasa dan anak-anak (little boy ataupun little girl) yang ikut ke medan perang. Kesertaan wanita dan anak-anak dalam perang adalah kondisi abnormal. Biasanya mereka melakukan perbuatan abnormal ini untuk memperbanyak bekal atau agar para wanita dan anak-anak itu menjadi penyemangat (‘cheerleader’) para pasukan perang.

Konvensi pada masa itu menyebutkan bahwa jika para sabiy ini tertangkap, maka status mereka tidak ada bedanya seperti harta benda lain yang ditinggalkan oleh para pasukan perang. Tidak ada bedanya sabiy ini dengan unta, pakaian, perisai, pedang, handphone, atau benda-benda lainnya. Islam mengadopsi konvensi terkait sabiy ini. Islam menempatkan para sabiy sebagai ghonimah (harta peninggalan pasukan musuh). Perlakuan terhadap ghonimah –termasuk sabiy- tergantung kepada kebijakan perang Khalifah di masing-masing peperangan, bisa dibagikan kepada pasukan kaum muslim bisa pula tidak. Dan sabiy ini tidak bisa dibebaskan dengan proses tebusan, beda dengan asiir.

Dalam perang Badar tidak ada perempuan yang menyertai musuh, karena itu tidak ada sabiy di dalamnya. Tetapi yang ada adalah asiir, lalu Rasul menetapkan penebusan mereka. Dalam perang Hunain, orang-orang Hawazin memerangi Rasul dengan membawa keluar para perempuannya. Ketika kaum Muslim menang dan Hawazin lari, mereka meninggalkan para perempuan di belakang mereka. Sehingga didapatkanlah sabiy, dan mereka ditempatkan bersama harta ghonimah. Dan dalam perang Khaibar, musuh terbunuh dan benteng-benteng mereka terbuka. Lalu perempuan yang sebelumnya menyertai tentara musuh diambil sebagai sabiy. Sementara sisanya (yang tidak ikut berperang) dibiarkan, sebagaimana para lelakinya juga dibiarkan.

Semua peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasul menjadikan para laki-laki yang berperang sebagai tawanan perang (asiir); dan menjadikan para perempuan dan anak-anak yang menyertai mereka sebagai sabiy. Sedangkan selain mereka, yaitu laki-laki dan perempuan yang tidak berada dalam pertempuran, maka mereka tidak dijadikan asiir ataupun sabiy. Dan menunjukkan pula bahwa Rasul tidak memperbudak para asiir.

Politik Peperangan (Siyasatu-l-Harb) adalah Wewenang Khalifah

Dari uraian di atas jelas bahwa The Next Khilafah tidak akan memunculkan perbudakan baru. Sedangkan perlakuan terhadap para sabiy adalah masuk dalam cakupan siyasatu-l-harb yang dipilih khalifah sesuai yang ia pandang tepat pada masing-masing peperangan. Ia bisa menerapkan siyasatu-l-harb yang berbeda antara peperangan yang berbeda.

Allah SWT memang memberikan pengecualian atas beberapa hal pada kondisi perang. Semisal pada sholat, dalam kondisi pertempuran tertentu diperbolehkan sholat sambil berjalan, atau bergantian antar shof sholat tiap rokaat untuk berjaga-jaga. Demikian pula diperbolehkan berbohong terhadap lawan saat perang, yang dalam kondisi normal hal ini diharamkan. Juga dalam kondisi tertentu dibolehkan melakukan mutilasi terhadap mayat lawan, yang dalam kondisi normal hal ini diharamkan. Dan masih banyak pengecualian-pengecualian lainnya.[19]

Salah satu hal yang bisa menjadi pertimbangan perbedaan siyasatu-l-harb oleh khalifah adalah perbedaan perlakuan musuh terhadap pasukan kaum Muslim. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ (١٢٦)
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (TQS an-Nahl [16]: 126)

Wallahu ‘alam bi-s-showab.

* Disampaikan dalam Halqoh Syahriyah; 10 Maret 2013; DPD II HTI Banyumas
** Aktivis HTI DPD II Banyumas

Footnote:
[1] Seperti di http://www.muslim-menjawab.com/2012/06/menjawab-soal-qs-al-muminun-5-6-tentang.html , atau juga di akhir tulisan Ulil Abshar-Abdalla di ulil.net yang berjudul Kritik kecil atas argumen aktivis Hizbut Tahrir, dan di aneka laman web lainnya.

[2] Keukeuh adalah bahasa Sunda yang digunakan untuk menunjukkan sikap teguh seseorang dalam membela pendapatnya

[3] Personification of the government of the United States, shown as a tall thin white man with a white beard, wearing red and white striped trousers, a blue tailcoat, and a stovepipe hat with a band of stars. Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.

[4] Relating to people descended from Spanish or Latin American people or their culture. Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation.

[5] In Europe the notion of white racial superiority emerged in the 1850s, propagated most assiduously by the comte de Gobineau and later by his disciple Houston Stewart Chamberlain, who first used the term “Aryan” for the white race. Members of this so-called race spoke Indo-European languages, were credited with all the progress that benefited humanity, and were purported to be superior to “Semites,” “yellows,” and “blacks.” Believers in Aryanism came to regard the Nordic and Germanic peoples as the purest members of the “race.” "Aryan." Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite.  Chicago: Encyclopædia Britannica, 2012

[6] HR Ahmad dari Huzaifah bin al-Yaman ra.

[7] Ada hadits riwayat Al-Baihaqi, Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Mizzi, Ibnu Asakir, dan Ad-Dailami, yang menyebut jihad perang sebagai jihad asghor (kecil), sedangkan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad akbar (besar). Para imam hadits sudah meneliti mengenai hadits ini. Al-Hafidz al-'Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah. Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini sanadnya lemah."  Al-Iraqi mendha’ifkan hadits ini. As-Suyuti juga berpendapat bahwa hukumnya lemah. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, kalimat tersebut sebenarnya adalah ucapan Ibrahim bin 'Ablah (salah satu perawinya), bukan ucapan Rosulullah saw.

[8] Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal jihad yang dilakukan oleh negara. Imam al-Mawardiy dalam kitab Al-Iqnaa’, hal.175 menyatakan, “Hukum jihad adalah fardlu kifayah, dan imamlah yang berwenang melaksanakan jihad… Ia wajib melaksanakan jihad minimal setahun sekali, baik ia pimpin sendiri, atau mengirim ekspedisi perang.” Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-Zain, “Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun..”

[9] HR Ahmad dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash ra.

[10] HR Muslim dari Abu Hurairah ra.

[11] HR Muslim dari Tsauban ra.

[12] Surat Muhammad dikenal juga sebagai surat Al-Qital.

[13] Pembahasan lebih lanjut tentang teguran Allah SWT kepada baginda Rasulullah saw ketika beliau keliru dalam memilih yang lebih utama di antara beberapa pilihan perbuatan mubah bisa dilihat pada kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I, karya Taqiyuddin an-Nabhani, bab Laa Yajuuzu fi Haqqi ar-Rasuuli an Yakuuna Mujtahidan.

[14] Azab yang dimaksud di sini bukanlah azab berupa bencana alam yang menghancurkan suatu kaum, akan tetapi azab yang dimaksud adalah musibah berupa kekalahan perang. Kata azab dalam arti musibah kekalahan juga Allah gunakan dalam ayatnya, “Perangilah mereka, niscaya Allah akan mengazab (=mengalahkan/menghancurkan) mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu, dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 14).

[15] Sedangkan pekerja –yang bekerja dengan upah- bukanlah budak.Contoh pekerja adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) atau tenaga kerja wanita (TKW).

[16] Di akhir bab Mu’aalajah al-Istirqooq, kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II, Taqiyuddin an-Nabhani menyampaikan, “Islam mencegah semua kondisi yang memberi peluang munculnya praktik perbudakan.”

[17] Sedangkan negara-negara Barat baru memproklamirkan penghapusan perbudakan pada pertengahan 1800-an.

[18] Convention = adat kebiasaan, kesepakatan.

[19] Lebih lanjut tentang politik peperangan bisa dilihat pada kitab kitab As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II, karya Taqiyuddin an-Nabhani, bab As-Siyaasah al-Harbiyyah

Posting Komentar untuk "AkankahThe Next Khilafah Memunculkan Kembali Perbudakan?*"