Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Batas Maksimal Laba Perdagangan, Adakah?


Soal:
Ustadz, apakah dalam syariah Islam ada batasan maksimal laba dalam perdagangan, misal 30% atau 100%? [Muhammad, Bogor]

Jawab:
Yang dimaksud dengan “laba” (ar-ribhu, profit) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. (Rawwas Qol’ah Jie’, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, hal. 168). Secara khusus “laba” dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li ar-Ribhi Had A’la?, hal. 70)

Menurut kami, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai hal-hal yang haram. Seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menimbun), ghisy (menipu), dharar (menimbulkan bahaya), tadlis (menyembunyikan cacat barang dagangan) dan sebagainya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li ar-Ribhi Had A’la?, hal. 72-74; Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 191)

Dalil tidak adanya batasan laba maksimal yang tertentu adalah dalil-dalil tentang perdagangan yang bermakna mutlak, yaitu tanpa ada ketentuan batas maksimal laba yang tak boleh dilampaui. Misal firman Allah SWT (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan (tijarah) yang berlaku suka sama suka (saling ridha) di antara kamu”  (TQS an-Nisaa’: 29)

Ayat ini menunjukkan bolehnya perdagangan (tijarah), yang sekaligus menunjukkan juga bolehnya mencari laba (ar-ribhu). Sebab pengertian perdagangan (tijarah) adalah aktivitas jual beli dengan tujuan memperoleh laba (al-bai’ wa syira’ li gharadh ar-ribhi). (Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, 5/31; al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 10/151; Rawwas Qol’ah Jie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, hal. 26)

Bolehnya mencari laba berdasarkan ayat di atas, dari segi berapa besarnya laba, bersifat mutlak. Artinya, tidak ada batas maksimal laba yang ditetapkan syariah. Sebab tidak ada dalil syar’i  yang membatasi kemutlakan ayat tersebut. Dalam hal ini kaidah ushul fiqh menetapkan: “al-muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaqihi maa lam yarid dalilun yadullu ‘ala at-taqyiid” (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1/208).

Sebagian ulama madzhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah 1/3 (tsulus), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiga. (Yusuf Qaradhawi, Hal li ar-Ribhi Had A’la?, hal. 75; Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, 5/33).

Pendapat ini tidak dapat diterima, dengan 2 alasan: Pertama, sabda Rasulullah  SAW yang menyebut batas sepertiga tersebut  tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan ayat di atas (QS an-Nisaa’: 29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan wassiat, sementara ayat di atas topiknya terkait perdagangan. Jadi konteksnya berbeda.

Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari sepertiga. Dari ‘Urwah RA, bahwa nabi SAW pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi SAW. Kemudian ‘Urwah membeli 2 ekor kambing dengan uang itu, lalu ‘Urwah menjual  salah satu dari 2 ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi SAW dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi SAW pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no 3642). Hadits ini membolehkan laba 100%, karena Urwah awalnya membeli 1 kambing dengan harga ½ dinar, kemudian menjual lagi dengan harga 1 dinar. (Yusuf Qaradhawi, Hal li ar-Ribhi Had A’la?, hal. 76).

Kesimpulannya, tidak ada laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai hal-hal yang haram. (Yusuf Qaradhawi, Hal li ar-Ribhi Had A’la?, hal. 74; Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, 5/30). Wallahu a’lam

[Sumber: Media Umat, Edisi 115, hal. 26]

Posting Komentar untuk "Batas Maksimal Laba Perdagangan, Adakah?"