Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Defensif - Apologetik

Syariah Ajaran Islam, Kok ditolak?
Menyusul pemberitaan media massa cetak, elektronik dan on-line yang cukup masif tentang kontroversi sepak terjang ISIS, mencuat lagi monsterisasi terhadap sejumlah simbol dan ajaran-ajaran Islam.

Monsterisasi simbol dan ajaran Islam bukanlah baru kali ini terjadi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru ada istilah Komando Jihad, disingkat Komji. Istilah ini disematkan kepada kelompok yang dituding melakukan penentangan terhadap Pemerintah. Lalu, setiap kali ada tokoh atau kelompok Islam yang kritis terhadap Pemerintah, mereka lantas dengan mudah disebut kelompok Komji. Siapa saja yang sudah dicap sebagai anggota Komji, jangan harap akan selamat dari kejaran pihak berwajib. Walhasil, Komji seperti keranjang yang dijadikan penampungan siapa saja yang dianggap berlawanan dengan pemerintahan Orde Baru, yang pada tahun 80-an itu memang dirasakan sangat represif terhadap umat Islam.

Monsterisasi tak lain bertujuan untuk menimbulkan rasa takut di kalangan umat. Dengan tindakan pemerintahan Orde Baru yang begitu represif, siapa saja ketika itu tentu tidak ingin dicap sebagai anggota Komji. Akibatnya, umat menjauh dari hal-hal yang sekiranya bisa diasosiasikan dengan Komji. Akibat lebih jauh, istilah jihad menjadi terasa asing dan menakutkan.
Menghadapi gejala monsterisasi ini, di tengah umat terdapat dua kelompok sikap. Pertama: kelompok yang bersikap defensif-apologetik. Kedua: kelompok yang bersikap ofensif-konstruktif.

Kelompok pertama dalam menghadapi monsterisasi cenderung menghindar dan mencari jalan selamat dengan cara membangun argumen yang dirasa lebih bisa diterima oleh publik. Terhadap istilah jihad, misalnya, agar tidak terdengar garang dan menakutkan, lantas dicarikan pengertian atau pemahaman lain yang tidak berkonotasi perang. Jadilah jihad—yang berasal dari akar kata ja-ha-da—diartikan sebagai usaha untuk mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada untuk mencapai tujuan. Secara bahasa, menurut Fayruz Abadi dalam Kamus Al-Muhîth, juga An-Naysaburi dalam Tafsîr an-Naysâbûrî (XI/126), jihad memang artinya begitu.

Pengertian jihad secara bahasa ini tentu terasa lebih “halus”, terdengar lebih “ramah” dan lebih “bersahabat”. Kesan menakutkan hilang. Kalaupun terpaksa harus menjelaskan jihad dalam pengertian perang, biasanya ditambahkan dengan ungkapan apologetis, bahwa jihad dalam arti perang bukanlah jihad yang utama. Berdasarkan hadis, katanya, ada jihad yang lebih besar, yakni melawan hawa nafsu. Hadis itu berbunyi, “Kita baru kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan jihad besar.” Rasul menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”

Tentang jihad melawan hawa nafsu yang dikatakan sebagai pernyataan Rasulullah saw. sepulang dari perang Badar itu terdapat dalam kitab Al-Asrâr al-Marfû‘ah fi Akhbâr al-Mawdû‘ah, hlm. 127 yang ditulis oleh Mulla Ali al-Qari.

Namun, pengertian jihad sebagai mengerahkan seluruh kemampuan untuk mencapai tujuan seperti itu bukanlah arti jihad yang sesungguhnya secara syar’i. Para ulama, sebagaimana disebut dalam kitab Al-Jihad wa al-Qital karya Dr. Muhammad Khair Haikal, juga dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (II/153) karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, secara syar’i arti jihad tak lain adalah upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah secara langsung maupun memberikan bantuan keuangan, pendapat, atau perbanyakan logistik, dan lain-lain untuk memenangkan pertempuran. Secara ringkas, menurut al-Jazairi dalam kitab Al-Fiqih ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, secara syar’i jihad diartikan sebagai qital al-kuffar fi sabililLah li i’la’i kalimatilLah atau perang melawan orang kafir di jalan Allah untuk tujuan meninggikan kalimat Allah (kalimat tauhid).

Adapun hadis yang menyatakan bahwa Nabi menyebut melawan hawa nafsu sebagai jihad yang lebih besar daripada jihad dalam pengertian berperang, dari segi riwayah, menurut Imam as-Suyuthi dalam kitab Al-Jâmi‘ ash-Shaghîr, adalah hadis dha’if (lemah). Bahkan Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa hadis di atas bukan ucapan Nabi saw., melainkan perkataan Ibrahim bin Ablah. Demikian dikatakan oleh Dr. Muhammad Khair Haikal dalam kitabnya, Al-jihâd wa al-Qitâl.

Dari segi dirayah, hadis ini juga bertentangan dengan dalil qath’i yang menyebut keagungan perang di jalan Allah (jihad dalam makna perang), misalnya dalam surah an-Nisa’: 95; at-Taubah: 111; al-Anfal: 74; al-Maidah: 35; al-Hujurat: 15; as-Shaff: 11-12; juga bertentangan dengan ancaman dan celaan bagi orang yang enggan berjihad, misalnya surah at-Taubah: 38-39; al-Anfal: 15-16; at-Taubah: 24.

Bukan hanya jihad, istilah syariah dan khilafah juga tidak luput dari upaya “penghalusan” makna. Syariah dikatakan sebagai “jalan”, bukan hukum. Kalaupun diartikan hukum, selama ini, kata mereka, kita telah melaksanakan syariah. Shalat, puasa, zakat dan semacamnya, apa itu bukan syariah; jadi apa lagi yang harus diperjuangkan? Lalu khilafah diartikan sebagai khalifatullah fil ardh sebagaimana disebut dalam surah al Baqarah ayat 30. Jadi tidak ada hubungannya dengan sistem politik dan pemerintahan, apalagi dengan usaha penyatuan umat Islam seluruh dunia. Itulah, kata mereka, pengertian khalifah yang disebut dalam al-Quran.
 


+++++

Demikianlah sikap defensif-apologetik yang ditunjukkan oleh kelompok pertama. Berhasilkah sikap semacam ini mengurangi tekanan terhadap umat Islam? Alih-alih mengendorkan ancaman, sikap seperti ini justru menimbulkan kekaburan terhadap ajaran Islam itu sendiri, dan tidak membantu umat menjadi lebih cerdas; sementara ancaman tidak dengan sendirinya surut. Apakah dengan dibuat pengertian jihad menjadi lebih “lembut” dan “ramah”, musuh-musuh Islam mau percaya bahwa Islam bukan lagi kekuatan yang bakal mengalahkan mereka dengan semangat dakwah dan jihadnya, sebagaimana mereka baca dalam sejarah dan mereka saksikan saat ini? Apakah dengan dikatakan bahwa syariah seperti shalat, zakat, haji dan lainnya sudah diterapkan, lawan-lawan Islam akan percaya bahwa umat Islam tidak akan lagi menuntut penerapan syariah secara kaffah? Juga apakah setelah dibuat pengertian “baru” bahwa khilafah yang dimaksud adalah khalifatullah fil ardh, musuh-musuh Islam di Barat dan Timur lantas mau berdiam diri dan tak lagi mewaspadai bakal tegaknya Khilafah yang sebenarnya suatu saat nanti?

Jangan pernah mengira bahwa mereka, musuh-musuh Islam itu, tidak tahu apa-apa tentang Islam, jihad, syariah dan Khilafah. Juga jangan salah sangka bahwa mereka tidak paham di mana letak inti kekuatan ajaran Islam dan bagaimana usaha umat Islam untuk mewujudkan kembali kekuatan itu. Di negara Barat saat ini tersebar pusat-pusat kajian Islam dengan para ahli yang tidak kalah pandai tentang Islam dibanding para ulama. Kalau mereka tidak paham, tentu tidak akan pernah ada perkiraan NIC bahwa Khilafah kemungkinan tegak pada 2020. Juga tidak akan ada warning berulang dari Presiden Bush, juga Tony Blair dan lainnya tentang ancaman Khilafah.

Oleh karena itu, terhadap monsterisasi simbol dan ajaran Islam yang saat ini tengah berlangsung, tak ada yang lebih baik kecuali menghadapinya dengan sikap ofensif-konstruktif, bukan defensif-apologetik. Maksudnya, justru inilah saat yang terbaik buat kita untuk menjelaskan kepada umat pengertian sesungguhnya tentang jihad, syariah dan khilafah; juga tentang simbol-simbol dalam Islam seperti Bendera al-Liwa dan ar-Raya’. Dengan cara itu, umat menjadi paham dan mampu menepis segala keraguan dan ketakutan terhadap ajaran agamanya sendiri. Selanjutnya, umat diharapkan mau mendukung perjuangan bagi tegaknya kembali Khilafah yang sesungguhnya, akan menerapkan syariah secara kaffah dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Pada saat itulah, kerahmatan Islam bagi seluruh alam yang telah lama dirindukan itu akan benar-benar terwujud secara nyata. Insya Allah. [H.M. Ismail Yusanto - Al-Wa'ie]

Posting Komentar untuk "Defensif - Apologetik"