Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Apakah kegigihan = kesuksesan? Mari lihat datanya

Kegigihan dan kesuksesan

Angela Duckworth
, seorang psikolog dari Universitas Pennsylvania, melakukan penelitian terhadap 11.258 kadet pada salah satu akademi militer tersulit di Amerika Serikat. Ia mencari hal yang jadi pembeda antara mereka yang berhasil lulus dari akademi dengan para kadet yang gagal di tengah jalan.

Dari penelitian tersebut, Duckworth menyimpulkan bahwa mereka yang lulus atau berhasil adalah yang punya grit yang tinggi. Kesimpulan ini juga dikuatkan dengan penelitian yang sama terhadap mahasiswa. Mereka yang punya grit pada akhirnya memiliki Indeks Prestasi Kumulatif lebih tinggi.

Tapi apa itu grit? Saya tidak tahu padanan tepatnya, tapi grit bisa diartikan sebagai kegigihan/ketahanan dan gairah (passion) untuk mencapai target jangka panjang. Duckworth bahkan menyebutkan bahwa grit bisa digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan sukses atau tidak.

Pengamatan ini terjadi bertahun-tahun yang lalu. Sudah ada penelitian lain yang mengatakan bahwa grit saja tidak cukup--kita akan bahas ini nanti. Sekarang kita lihat dulu argumen dari Duckworth.

Ia bukan mengatakan bahwa talenta sama sekali tak berperan. Menurutnya, talenta hanya bernilai satu, sedangkan grit bernilai dua. Atau mudahnya, grit punya peran lebih besar.

Kamu mungkin berpikir bahwa di titik ini bahwa kegigihan saja sudah cukup, Namun Duckworth lebih jauh menyebutkan kegigihan harus disertai dengan sebuah usaha yang disengaja.

Saya atau kamu mungkin pernah mengalaminya. Kita berlatih sesuatu cukup lama, tapi tidak melihat adanya kemajuan. Saya mulai rajin berenang semenjak pandemi, Namun setelah melakukannya lebih dari satu tahun, saya tetap tak kuat untuk melintasi seluruh panjang kolam renang dua kali secara nonstop.

Melihat ke belakang, saya bisa mengatakan bahwa saya tak melakukan latihan secara serius, Saya tak mengukur kecepatan, meminta seseorang untuk mengevaluasi, dan tak mencatat kemajuan saya. Saya hanya berenang seperti biasa setiap kali. Ini adalah kebalikan dari latihan yang disengaja (deliberate practice).

Kunci dari deliberate practice adalah benar-benar fokus ke dalam latihan, mencatat kemajuan, serta mendapatkan evaluasi.

Salah satu pelari maraton profesional menyebutkan bahwa seorang pelari harus berlatih secara sadar. Banyak orang berlatih berlari, tapi seiring mereka berlatih, mereka mendengar musik, podcast, atau memikirkan hal-hal lain.

Padahal yang seharusnya dilakukan adalah fokus kepada latihan tersebut. Pikirkan hal-hal seperti, apakah saya berlari dengan teknik yang benar? Bagaimana napas, postur tubuh, dan performa saya?

Langkah selanjutnya adalah mendapatkan masukan dari seseorang yang lebih ahli. Kita akan sangat terbantu jika ada seorang ahli yang bisa memberi tahu bahwa di tengah latihan berlari, postur tubuh mulai salah, atau tidak mengontrol pernapasan dengan benar.

Yang terakhir adalah, setelah mendapatkan feedback ini, kita membuat rencana untuk memperbaikinya dan fokus terhadap perbaikan. Misalnya di menit kesepuluh, ketika kita sudah terlalu lelah dan napas mulai berantakan, kita cenderung untuk menahannya sebisa mungkin.

Seharusnya kita menyadari di titik ini bahwa batas kemampuan kita sekarang adalah sepuluh menit. Setelah menyadarinya, kita mengambil sikap aktif untuk memperbaiki pernapasan ketimbang hanya menahannya sebisa mungkin.

Bila dirangkum, kita akan memerlukan:

  1. Kesadaran untuk berlatih secara sengaja,
  2. Fokus kepada latihan tersebut,
  3. Mendapatkan evaluasi, dan
  4. Membuat perbaikan.

Seiring Duckworth memberi contoh-contoh lain bagaimana grit bisa memprediksi kesuksesan, saya tiba-tiba teringat dengan proses rekrutmen di Tech in Asia Indonesia. 

Kami tak melakukan tes yang bersifat terlalu teknis dalam proses rekrutmen, seperti tes IQ atau kemampuan kognitif. Ketika kami membuka lowongan penulis, tes yang akan dilalui kandidat adalah menulis sebuah topik yang telah kami tentukan. 

Seiring kelanjutan tahapan rekrutmen, kami akan meminta mereka menulis lebih dari satu kali. Bahkan setelah melakukan wawancara, kami sering bertanya apakah kandidat keberatan untuk menulis sekali lagi.

Menariknya, banyak dari pelamar kerja menyelesaikan tes menulis yang pertama. Namun ketika para kandidat menerima tugas kedua, banyak yang gugur. Mereka bukan saja tak mengerjakannya, tapi juga tak lagi membalas email (istilah kerennya: ghosting).

Setelah kandidat mengirimkan tes pertama, Iqbal (editor di Tech in Asia Indonesia) akan memberikan komentar di tulisannya tentang bagaimana tulisan tersebut bisa jadi lebih baik lagi. Kami berharap para pelamar dapat belajar dan melakukan perbaikan di tulisan kedua, ketiga, atau jika perlu, keempat.

Tujuan kami tentu saja melihat siapa yang gugur, karena pada praktiknya mereka akan menulis setiap hari. Jika saya pikir kembali, mereka yang akhirnya kami terima adalah mereka yang tak menyerah, walau diberikan beberapa tugas beserta komentar pedas dari Iqbal. Saya bisa melihat bahwa grit membuat perbedaan dalam kasus ini.


Jadi bagaimana menumbuhkan grit ini?

Duckworth menyebutkan empat hal yang bisa membantu:

1. Kembangkan ketertarikan. Mengerjakan sesuatu yang tak menarik akan membuat kamu lebih cepat menyerah. Semua juga tahu hal ini, tapi apakah kamu juga tahu bahwa ketertarikan bisa ditumbuhkan secara sengaja?

2. Lakukan peningkatan secara berkala. Jangan bertahan atau melakukan sesuatu berulang-ulang dengan cara yang sama. Cari tahu apa yang bisa ditingkatkan, sekecil apa pun, dan lakukan itu setiap hari.

3. Temukan target yang lebih besar. Sayangnya, tak semua orang mengetahui dampak dari apa yang mereka sedang kerjakan. Bukan saja ini akan menghambat mereka untuk jadi lebih efisien, tapi juga akan memunculkan perasaan bahwa usaha mereka sia-sia. Tebak apa yang terjadi setelahnya? Yap, menyerah.

4. Growth mindset. Mereka yang percaya bahwa talenta mereka bisa dikembangkan, cenderung melakukan usaha lebih dan melihat perkembangan talenta tersebut, ketimbang mereka yang merasa sebuah talenta adalah yang sudah diberikan dari sananya.

Oh ya, di awal newsletter ini saya berkata bahwa ada penelitian lanjutan yang mengatakan bahwa grit saja tak cukup. Menariknya adalah, penelitian ini juga mengambil tempat di akademi militer yang sama. Penelitian tersebut menemukan bahwa kemampuan kognitif punya andil lebih besar daripada grit.

Jadi siapa yang benar? Saya rasa keduanya benar.

Dulu saya suka tertawa terpingkal-pingkal melihat para peserta audisi American Idol yang menyanyi dengan buruk sekali. Namun ketika mereka mendapatkan feedback dari para juri, mereka jadi defensif dan mengatakan tak ada yang salah dengan suara mereka. Beberapa bahkan mencoba kembali selama bertahun-tahun dengan hasil tetap sama.


Saya bisa melihat ada dua faktor penting di sini:

- Apakah mereka berlatih dengan sengaja?

- Sudahkah mereka mendapatkan feedback dari pelatih vokal dan berlatih dengan cara yang benar?


Saya yakin, dengan latihan yang benar, nyanyian mereka akan jauh lebih baik dari kebanyakan orang. Namun juga bukan berarti mereka akan langsung menjadi penyanyi terkenal. Tak bisa dipungkiri, beberapa orang memang terlahir dengan talenta bernyanyi.

Ini kembali mengingatkan saya kepada quote favorit saya yang berbunyi kurang lebih seperti ini, “Sebelum kamu mendaki dengan usaha terbaik kamu, pastikan tangganya ditaruh di bangunan yang tepat.”

Saya akan menyarankanmu untuk menonton video tentang grit ini , dan menyimpulkannya sendiri untuk dirimu. Daki gunung dengan gigih, pakai teknik yang benar, tapi pastikan gunungnya adalah gunung yang ingin kamu daki. Happy weekend!


P.S. Kamu dapat mencoba kalkulator grit yang dapat memberitahu segigih apa kamu di sini


Salam,

Hendri Salim

CEO Tech in Asia Indonesia

Posting Komentar untuk "Apakah kegigihan = kesuksesan? Mari lihat datanya"