Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

KETENTUAN MUNDUR DARI KERJA SAMA USAHA

KETENTUAN MUNDUR DARI KERJA SAMA USAHA ATAU SYIRKAH

Melanjutkan bahasan sebelumnya tentang "Reputasi Finansial", lalu muncul pertanyaan bagaimana jika seseorang hendak mundur dari syarikah/syirkah sementara syirkah tersebut telah berjalan? Hal ini bukanlah perkara yang sederhana. Harus diberikan perincian. Bahkan saya menduga banyak pelaku usaha yang tidak paham masalah ini secara rinci dalam kasus-kasus yang kompleks. Semoga dugaan saya salah. 

Ketentuan umumnya adalah sebagai berikut:

1. Penyebutan jangka waktu di dalam akad syirkah bukan keharusan. Syirkah tidak perlu jangka waktu dalam pengakadannya. Bahkan syirkah itu terakadkan dan tidak ada kemajhulan di dalam akadnya.

2. Pembubaran syirkah bergantung pada keinginan para syarik. Dua orang syarik yang mengakadkan syirkah atas aktivitas tertentu, bisa membubarkan syirkah itu kapan saja.

3. Di dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam Bab Fasakh al-Syirkah hlm. 155 disebutkan sebagai berikut:

[Syirkah secara syar’i termasuk al-'uqud al-ja'izah. Syirkah itu batal dengan kematian salah seorang dari dua orang yang bersyirkah, atau dia gila atau dihijr atas kelemahan akalnya. Atau syirkah itu bubar dengan pembubaran oleh salah satu dari keduanya jika syirkah itu terdiri dari dua orang. Sebab syirkah adalah ‘aqdun ja'izun maka dengan semua itu batal seperti halnya wakalah... dst]

4. Jika salah seorang dari kedunya meninggal dunia dan ia memiliki pewaris yang rasyid (tidak lemah akal), maka pewarisnya itu berhak menggantikannya di dalam syirkah dan mengizinkan mitra syirkahnya dalam melakukan tasharruf. 

5. Jika salah seorang dari kedua mitra syirkah meminta pembubaran (fasakh), maka bagi mitra syirkah lainnya wajib memenuhi permintaan itu. Jika mitra syirkah itu banyak dan salah seorang dari mereka meminta pembubaran, sementar yang lain ingin mempertahankan, maka syirkah yang ada dibubarkan dulu, lalu diperbaharui diantara yang masih bertahan.

6. Dalam syirkah mudharabah, jika pengelola meminta aset syirkah dijual, sementara pemodal (shahibul mal) meminta pembagian, maka permintaan pengelola yang dipenuhi. Sebab haknya ada dalam laba, sementara laba itu tidak akan tampak kecuali dalam penjualan aset. 

7. Adapun dalam jenis syirkah lainnya, jika salah satu meminta dibagi dan yang lain meminta dijual, maka yang dipenuhi adalah permintaan dibagi, bukan dijual. 

8. Ini yang kami adopsi dalam hal terakadkannya syirkah tanpa disebutkan jangka waktu. Dimana jangka waktu itu bukan keharusan untuk keabsahan aqad syirkah.

9. Adapun jika disebutkan jangka waktu di dalam syirkah tersebut, maka perkara ini telah diperselisihkan oleh para fuqaha. Misal:

--- Boleh ditentukan jangka waktu mudharabah menurut Hanafiyah dan Hanabilah, yakni ditentukan jangka waktu untuk syirkah mudharabah. Jika berakhir jangka waktu itu, selesailah syirkah tersebut.

--- Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah tidak menerima penentuan waktu. Sebab hukumnya seperti yang dikatakan oleh Malikiyah, "tidak ada jangka waktu". Masing-masing dari keduanya boleh meninggalkannya kapan saja ia mau. Dan karena penentuan jangka waktu –seperti yang dikatakan Syafi’iyah- menyebabkan kesempitan terhadap pengelola dalam aktifitasnya.

Lalu Ketika dalam sebuah syirkah yang sudah berjalan, sudah ada harta termasuk piutang, kewajiban (utang), modal, laba, dan rugi apakah syarik keluar begitu saja tanpa memperdulikan unsur-unsur tersebut? Sama sekali tidak boleh. 

Misal dalam kasus syirkah abdan yang mendapat kepercayaan dari pemilik barang atau jasa dalam bentuk fasilitas kredit (menjadi syirkah wujuh model kedua), maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Syirkah wujuh model kedua ini adalah hakikatnya syirkah abdan. Gambarannya adalah A, B dan C adalah developer perumahan yang dipercaya (karena ketsiqahan yang bersifat maliyyah) oleh seseorang. Lalu A, B dan C bersyirkah, dengan cara menyewa jasa dari kontraktor yang memiliki kekuatan modal (misalnya D) secara kredit. A, B dan C bersepakat, masing-masing memiliki 35%, 35% dan 30% dari nilai jasa tersebut.

Lalu ketiganya menjual produk perumahan dan keuntungannya dibagi kepada tiga orang sesuai kesepakatan, setelah membayar tagihan ujrah kepada pihak D (pemberi kredit jasa kontraktor).

2. Lalu bagaimana jika C tiba-tiba memutuskan keluar syirkah? Perhatikan kitab al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam hlm. 152 paragraf ke-2, konsekuansi dan perinciannya sebagai berikut:

--- Jika Kerjasama usaha sudah ada keuntungan, maka harus diperhitungkan hak yang harusnya didapat sesuai kesepakatan.

--- Jika sudah ada unsur harta, utang dan modal (Neraca), maka harus diperhitungkan secara proporsional sesuai ketentuan. 

--- Jika ada beban-beban yang dikeluarkan oleh C dan itu adalah beban syirkah, maka diperhitungkan untuk dimasukkan pada unsur beban dalam laporan Laba/Rugi.

--- Jika ada kerugian, maka harus diperhitungkan beban yang harus ditanggung sesuai kadar kepemilikan pada nilai barang/jasa tersebut. Bukan karena kesepakatan. Misal C dalam contoh kasus di atas, maka ia menanggung 30% dari kerugian tersebut.

--- Jika ada utang yang sudah jatuh tempo, maka kewajiban tersebut harus lebih dulu ditunaikan dari harta (cash, piutang, asset, dll) yang ada. Jika menuntut penjualan aktiva tetap, maka harus segera dijual untuk menutupi kewajiban

--- Jika semua semua asset (aktiva tetap dan aktiva lancar) yang ada tidak bisa menutupi kewajiban yang ada, maka usaha tersebut dinyatakan pailit (muflis). Hakim --dalam kosep Islam-- akan mengumumkan status pailit (bangkrut) agar orang terhindar dari bertransaksi finansial dengannya (reputasi otomatis akan hancur), dan menyita semua asset usahanya untuk dibayarkan utang. (Lihat Kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 2 Bab al-Muflis, hlm. 344-347) 

Semua hal tersebut di atas harusnya tertuang dalam dokumen akad, dokumen hak dan kewajiban, dan laporan keuangan baik neraca maupun laba/rugi. Jika semua dokumen tersebut tidak jelas, maka berarti perusahaan tersebut amatiran dan tidak layak menerima kepercayaan finansial (tsiqah maliyyah). 

Itulah hasil telaah kitab al-Nizham al-Iqtishadi fil al-Islam Bab Syirkah Wujuh hlm. 152 Paragraf ke-2 yang kadang dilupakan dalam kasus mundurnya syarik pada saat kegiatan bisnis sedang berjalan dan sudah ada variabel untung, rugi dan utang usaha


Semoga bermanfaat. 


District 9 Nasr City, 5 Oktober 2022

Yuana Ryan Tresna

> https://t.me/yuanaryantresna/

> https://fb.com/yuanaryantID/

> https://instagram.com/yuanaryantresna/


Posting Komentar untuk "KETENTUAN MUNDUR DARI KERJA SAMA USAHA"